Selasa, 12 Agustus 2008

Merubah Nasib Sebagai Bangsa Kuli Dengan Tri Panji Persatuan Nasional

Penguasaan Asing dan Tingkat Industri yang Rendah

Oleh Administrator

Indonesia adalah negeri kapitalis yang perekonomiannya di dominasi sistem penghisapan oleh negeri-negeri imperialis, dimana kelas kapitalis besarnya yang merupakan kelas kapitalis yang minoritas didalam negeri memegang peranan sebagai kelas perantara atau agen langsung sebagai pemegang hak keagenan/lisensi/pemegang merk dsb maupun agen atau/perantara secara tidak langsung dari kepentingan negeri-negeri imperialis. Pola dominasi oleh negeri-negeri imperialis di dalam perekonomian dalam negeri dengan kasat mata misalnya melalui penguasaan langsung industri-industri pertambangan, perbankan, pusat-pusat perdagangan, juga sebagian besar industri manufaktur. Demikian juga di lapangan perdagangan, negeri-negeri imperialis semakin menguasai pasar di dalam negeri dengan derasnya serbuan barang-barang dan jasa yang diimpor.

Dari sekitar 137 perusahaan migas yang kini beroperasi di Indonesia, sedangkan hanya 20 di antaranya yang merupakan perusahaan dalam negeri –inipun biasanya hanya merupakan partner junior dan atau milik Pertamina dari sumur-sumur tua yang sudah ditingggalkan oleh asing. Hingga tahun 2001 sebanyak 890 ijin Kontrak Karya, Kuasa Pertambangan, dan PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusaha Pertambangan Batubara) telah diberikan negara yang setara dengan penguasaan lebih dari 35% daratan kepulauan Indonesia. Mayoritas juga dikuasai asing. Perbankan nasional? Sama saja. Mayoritas juga sudah dikuasai asing, bahkan termasuk bank-bank yang menikmati subsidi dari negara yaitu bank-bank pemegang obligasi rekapitalisasi perbankan yang totalnya mencapai Rp. 430 triliun seperti BCA, BII, Bank Permata dsb, yang menurut Kwik Kian Gie bunga yang harus dibayar dengan APBN untuk obligasi ini akan menghabiskan Rp. 600 triliun. Sebagai contoh subsidi yang bunga obligasi rekap yang dinikmati 10 bank (Bank Mandiri, BCA, BRI, BNI, BTN, BII, Bank Lippo, Bank Niaga, dan Bank Danamon) untuk tahun 2002 saja menghabiskan sekitar Rp. 51,7 triliun. Sektor perdagangan? Pusat-pusat perbelanjaan juga sudah didominasi Carefour, Giant, Sogo, Hypermart. Sedang rak-rak-nya dipenuhi barang-barang dari luar. Sektor otomotif sudah lama asing mendominasi melalui kapitalis-kapitalis dalam negeri yang diberi hak keagenan/lisensi. Demikian juga teknologi informatika, telepon. Sektor manufaktur ringan? Investor dari Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, Singapura merajalela. Belakangan investor Malaysia yang hendak mengokohkan dominasinya sebagai raksasa perkebunan mulai mengambil-alih perusahaan-perusahaan perkebunan di Indonesia.

Apa pengaruhnya bagi sebuah negeri yang perekonomiannya didominasi oleh satu negeri atau banyak negeri imperialis seperti Indonesia ini? Ada baiknya untuk memahami pengaruhnya kita kutip pendapat dari Soekarno: “…kita punja daja menghasilkan mendjadi mati sama sekali, kita punja daja cipta alias kepandaian dan kemampuan-membikin padam sama sekali, hantjur sama sekali, binasa sama sekali! Imperialisme industrialisme asing itu telah merebut tiap-tiap akar daripada daja menghasilkan ekonomis kita, membakar tiap-tiap semi daripada daja menghasilkan ekonomis kita menjadi debu, merosotkan Rakjat Indonesia itu mendjadi suatu Rakyat yang hidup dengan memakai barang-barang –luaran”. Maka ekonomi Indonesia sudah tidak mampu lagi menyejahterakan rakyatnya --sebagian besar keuntungan dan kemampuan keuangan/fiskal rakyat Indonesia ( yang tercermin dalam ekonomi dan APBN ) mengalir sebagai keuntungan asing,

Sebagai contoh, kontribusi sektor pertambangan bagi pendapatan negara, dalam kurun waktu 3 tahun terkhir hanya memberi rata-rata 80-90 triliun rupiah per tahun. Padahal Indonesia adalah negeri yang memiliki cadangan minyak bumi (yang terlacak) sebesar 4,6 milyar barrel, cadangan gas (terlacak) hampir 90 TSCF yang dengan produksi 2,9 TSCF yang baru akan habis 30 tahun ke depan, penghasil 25% timah dunia, 2,2% dari produksi batubara dunia, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia. Dengan dukungan syarat-syarat obyektif yang demikian toh gagal menjadi modal dasar untuk memodernisasikan dan meningkatkan produktifitas perekonomian Indonesia.

Karena sebagian besar sumber daya ekonomis, sumber daya keuangan dan fiskal dibawa oleh imperialis asing ke negri induknya dalam bentuk dana bagi hasil, cost recovery (dalam industri pertambangan), kadang-kadang fasilitas pembebasan atau keringanan pajak, laba, royalty, bunga hutang, pembayaran pokok hutang, dan juga melalui pencurian. (terutama hasil laut, pasir, dan hasil hutan).

Merujuk data tahun 1995, di areal Freeport saja tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52,1 juta ons. Deposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar AS, yang baru akan habis selama 45 tahun. Berapa yang jatuh kepada Indonesia? Kita hanya kebagian 7,9% kepemilikan saham, pajak dan royalty. Sementara dari Blok Cepu, ke depan Exxon akan menikmati pendapatan senilai Rp. 170 triliun per tahun. Bandingkan dengan kontribusi sektor pertambangan yang hanya Rp. 70-80 triliun terhadap APBN per tahunnya.

Data dari BP Migas menunjukan bahwa dari lifting Minyak sebesar 364,4 juta barel per hari dengan asumsi harga minyak US$60 per barel, maka total dari pendapatan minyak pada tahun 2005 adalah US$ 21,8 milyar. Dengan rata-rata bagi hasil 60-40, yaitu 60 untuk Pemerintahdan 40% untuk KPS, setelah dipotong cost recovery untuk KPS sebesar US$ 4,19 milyar maka Pemerintah hanya menerima Rp. 10,6 milyar, dan total yang diterima KPS adalah US$11,23 milyar. Hebatnya lagi ada kontak yang bagi hasilnya 0% untuk Indonesia seperti kontrak Exxon di Blok Natuna.

Sementara menurut Kwik Kian Gie, nilai dari ikan laut, pasir, dan kayu yang dicuri asing setiap tahunnya sekitar US$ 9 milyar.

Perekonomian Indonesia bisa dikarakterisasi sebagai berikut:

  1. Penguasaan oleh asing di sektor Industri hulu (terutama pertambangan)
  2. Penguasaan oleh asing pada sektor industri finance (penguasaan terhadap perbankan melalui program divestasi dan privatisasi)
  3. Penguasaan oleh asing di sektor perdagangan (melalui pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dan sebagai pemasok barang-barang konsumsi)
  4. Sektor industri manufaktur berkarakter outshourcing (dengan sistem kontrak, lisensi, keagenan dsb) dari perusahaan-perusahaan asing, yang rendah teknologi dan dukungan industri hulu. Sehingga bahan baku dan mesinnya tetap tergantung pada impor dan oleh karena sangat rapuh dann gambang terguncang. Hingga saat ini sektor riil masih terjerembab dan terus mengalami kebangkrutan massal. Jadi sebelum sistem buruh kontrak menjadi trend (walaupun secara legal sangat dibatasi dan selebihnya dilarang), pola serupa sudah lebih dahulu diterapkan dalam pola industri manufakturnya.
  5. Sektor pelayanan publik yang dikuasai negara (melalui BUMN-BUMN) yang kepemilikannya terus merosot karena dialihkan (dan diminta melalui paksaan lemaba-lembaga donor) oleh asing melalui program privatisasi dan atau dibangkrutkan seperti industri pupuk.
  6. Pemerintahan nasional yang berkarakter komprador dan kakitangan kepentingan imperialis asing. Sehingga bersedia menerima syarat-syarat yang lunak dan bagi hasil yang rendah dari beroperasinya dan dikuasainya industri-industri penting oleh imparialis asing di dalam negeri.
  7. Beban hutang tak kepalang besarnya dari Pemerintah yang berjumlah US$ 143,2 milyar. Terdiri dari utang luar negeri sebesar US$,6 milyar dan SUN (Surat Utang Negara) sebesar US$ 81,6 milyar (sebagaian pembeli dan pemegang SUN juga dari asing). Situasi eksploitasi keji oleh imperialis ini justru diputarbalikkan sedemikian rupa sehingga kekurangan modal nasional dan struktur pendapatan dalam APBN justru dijadikan dalih pembenaran untuk menggenjot hutang luar negeri.

Dampak sosial dari situasi perekonomian yang demikian ini adalah perkembangan industri yang stagnan, bahkan dengan kebangkrutan di sektor riil yang belum juga berhenti gagal menyerap pengangguran, dan justru membantu menambah jumlah pengangguran. Laporan Bank Dunia tahun 2006 menunjukan bahwa hampir 50% penduduk Indonesia masih tergolong miskin dengan asumsi golongan penduduk yang pendapatannya kurang dari US$ 2 dollar per hari. Akses rakyat miskin terhadap kesehatan, pendidikan, perumahan juga semakin sulit. Tak herang penderita busung lapar, anak putus sekolah tingkat kematian bayi dan ibu melahirkan, dan epidemi penyakit lainnya tergolong tinggi.

Tri Panji Persatuan Nasional Sebagai Jalan Keluar

Arti penting dari Tri Panji Persatuan Nasional adalah bahwa sumber-sumber dan potensi pembiayaan, serta kemampuan keuangan negara harus dikerahkan untuk menjawab problem mengangkat rakyat dari kemiskinan dengan meningkatkan kesejahteraannya rakyat yang bersifat mendesak dan dipergunakan untuk meletakkan, membangun, dan mengembangkan dasar-dasar bagi industri nasional yang kokoh.

Panji Industrialisasi Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat

Industrialisasi nasional yang berhasil membutuhkan syarat-syarat dan penyelesaian terhadap soal-soal:

  1. Pembukaan Lapangan Kerja untuk mengatasi pengangguran. Sudah terbukti gagal bahwa pembukaan lapangan kerja disandarkan hanya kepada investasi asing. Negara, dengan dukungan APBN dan APBD harus membiayai pembangunan pabrik-pabrik. Pabrik-pabrik yang dibangun disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan realitas perekonomian rakyat misalnya lebih dititik beratkan pada industri yang mendukung program mekanisasi pertanian dan industri pengolahannya. Juga disesuaikan dengan potensi sumber daya alam yang kita miliki misalnya pendirian pabrik-pabrik baja di daerah yang menghasilkan bijih besi, pabrik pengilangan minyak dan gas di daerah-daerah penghasil minyak dan gas. Mendirikan industri pupuk di daerah-daerah sentra pertanian dan perkebunan, dan atau membangun pabrik pengalengan ikan, dan pabrik untuk menghasilkan kapal penangkap ikan di daerah-daerah sentra nelayan. Negara juga harus menjawab situasi riil dari industri dalam negeri yaitu menolong industri yang terancam kebangkrutan, dan jika keuangan negara memungkinkan mengambil-alih-nya.

2. Perlindungan terhadap Industri dalam negeri, mengontrol dan mengawasi perdagangan umum dengan luar negeri. Industri dalam negeri harus dilindungi kepentingannya, dan dibantu perkembangan dan kapasitasnya dari dampak merusak perdagangan dengan luar negeri. Seluruh proses liberalisasi perdagangan dan kebijakan perjanjian perdagangan multilateral dan bilateral harus ditinjau ulang dengan mengedepankan kepentingan nasional.

  1. Menaikan Upah Buruh dengan menetapkan upah minimum nasional sesuai dengan tingkat KHL (Kehidupan Hidup Layak). Standarisasi upah ii penting untuk menghilangkan kesenjaggan desa dengan kota, satu propinsi dengan propinsi lainnya. Walaupun dalam jangka waktu pendek ada variabel-variabel harga kebutuhan hidup yang berbeda-beda dimasing-masing daerah, hanya apada variabel-variabel yang berbeda saja yang harus disesuaikan. Disetiap unit perusahaan, milik swasta/negara hak bgi pekerja untuk ikut mengontrol jalannya perusahaan harus diberikan. Sehingga kaum pekerja menjadi semakin bergairah bekerja demi kemajuan dan peningkatkan produktifitas perusahaan. Jika pada tahun 1950-an hingga 1960-an demokratisasi perusahaan ini bisa dijalankan kenapa saat ini tidak bisa?
  2. Mengratiskan biaya kesehatan untuk seluruh rakyat. Seluruh pelayanan rumah Puskesmas dan Rumah Sakit untuk pelayanan kelas tiga harus digratiskan (dari biaya rawat inap, konsultasi dokter, obat-obatan, dan biaya rawat jalan). Pengkhususan pada rakyat miskin hanya menimbulkan korupsi, konflik sosial, dan penyelewengan di lapangan (rumah sakit yang menolak walaupun sudah membawa surat bukti miskin, tetap dikenai biaya untuk obat-obatan dsb).
  3. Menggratiskan Pendidikan dari TK hingga Universitas. Seluruh TK dan Universitas negeri harus digratiskan dan jumlah sekolah dan kampus terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan anggaran. Sekolah-sekolah swasta harus disubsidi. Jika oleh karena keterbatasan anggaran jumlah keseluruhan sekolah belum mampu menampung seluruh calon peserta didik harus diselenggarakan ujian penyaringan yang transparan, dan calon peserta didik tanpa memperhitungkan usia harus diberi kesempatan yang sama untuk meraih status tingkat pendidikan yang lebih tinggi walaupun dia gagal pada ujian penyaringan paada tahun sebelumnya. Kurikulum pendidikan dan program-program studi yang dijalankan harus mendukung program industrialisasi nasional.
  4. Menyelamatkan aset-aset negara dengan menghentikan dan meninjau-ulang/membatalkan privatisasi BUMN-BUMN. Seluruh perusahaan dan industri yang melayani kepentingan publik harus dikuasai oleh negara, diprofesionalkan, ditingkatkan kapasitas teknologi dan pelayanannya, serta membersihan para birokratnya yang korup dengan penerapan hukum yang progresif seperti pembuktian terbalik dsb. Pelayanan dan pemenuhan kebutuhan publik yang murah tanpa dibebani untuk mengejar keuntungan akan menjadi daya dukung bagi industri nasional.
  1. Negara memberikan subsidi untuk sarana produksi pertanian (pupuk, bibit, perbaikan irigasi, konservasi sumber-sumber air dsb), bantuan teknologi murah, dan modal/kredit modal usaha bagi petani untuk meningkatkan kesejahteraan kaum tani. Lahan-lahan negara yang menganggur diserahkan kepada kaum tani, sengketa-sengketa agraria harus diselesaikan dengan mengutamakan kepentingan kaum tani –karena selama puluhan tahun mereka elah menjadi korban, serta negara mendorong program transigrasi secara sukarela dan bertanggung-jawab memberi bantuan modal dan jaminan hidup selama belum berproduksi; pemberian lahan di tempat pemukinan tidak lagi dalam jumlah kecil tapi dalam bentuk lahan yang ekonomis untuk dijalankan dengan mekanisasi (ini juga harus dibantu negara) dan dikelola secara koperasi agar tidak muncul problem fragmentasi lahan pertanian dikemudian hari.
  2. Menasionalisasi Perbankan nasional. Penguasaan perbankan nasional oleh asing atau swasta akan menyulitkan daya ukung keuangan bagi program pembiayaan program industrialisasi nasional. Apalagi di dalam tubuh perbankan nasional saat ini masih menyimpan beban subsidi rekap senilai Rp. 430 triliun, yang bunganya saja akan memakan dana APBN senilai Rp. 600 triliun. Dengan penguasaan negara perbankand apat diarahkan untuk memperkuat industri dalam negeri dan secara bertahap beban obligasi rekap dapat dikurangi atau bunganya dapat dihapus sama sekali.
  3. Memberikan subsdidi untuk perumahan rakyat dengan program rumah susun yang layak dan sehat, dan disewakan secara murah. Program rumah susun dibangun diiatas lahan-lahan negara. Program rumah susun akan turut berkontribusi bagi pembenahan tata kota agar lebih manusiawi. Dan sekaligus mampu menyelamatkan rakyat miskin dan menengah bawah diperkotaan dari spekulasi para pemilik rumah sewaan yang selama ini menikmati rente dari keringat para pekerja.
  4. Menggratiskan seluruh pengurusan pembuatan dokumen negara yang harus dimiliki warga negara sehubungan dengan status kewargaannya (surat nikah, akta kelahiran, KTP, Ijazah, paspor dsb). Karena pelayanan terhadap dokumen bagi warga negara ini ini adalah salah satu bentuk kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya.

10. Dimungkinkan membuka investasi asing sektor-sektor industri yang belum mampu dikelola oleh pemerintah dan swasta nasional, dan atau pemerintah masih kekuarangan sumber daya untuk mengelolannya namun dengan syarat alih - teknologi.

Panji Nasionalisasi Industri Pertambangan

Poin penting dari program ini adalah untuk menjadikan pertambangan sebagai sumber pembiayaan utama yang nilai ekonomisnya besar dan cepat. Sebagai gambaran, nilai komersial dari tambang PT Freeport saja sekitar US$ 77 milyar, nilai kapitalisasi dari Blok Cepu sekitar US$ 40 milyar dollar, nilai kapitalisasi dari liftting minyak per tahun sekitar US$ 21,8 milyar. Dapat dibayangkan berapa nilai kapital dari 137 perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia? Brapa nilai kapital dari 890 ijin kontrak karya, kuasa pertambangan, PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusaha Pertambangan Batubara)? Bahkan dengan skenario nasionalisasi yang paling moderat sekalipun, misanya perbaikan kontrak bagi hasil, dan jika semua kontrak pertambangan dijalankan dengan pola bagi hasil pendapatan negara akan sangat besar dari sektor pertambangan. Dan skenario inilah yang minimal harus kita perjuangkan, dimaa kontrak bagi hasil untuk rakyat Indonesia harus ditingkatkan minimal 85% dan untuk KPS 15%.. Seperti yang saat ini diperjuangkan oleh Rakyat Bolivia dibawah Morales, dan seperti perjuangan rakyat Bolivia pula bagi perusahaan pertambangan yang membandel dipresilahkan angkat kaki, dan dinasionaliasikan tanpa ganti-rugi.

Point penting lainnya dari penguasaan nasional terhadap industri pertambangan adalah posisi bahan-bahan mineral yang begitu vital bagi berjalannya industri modern. Adalah pengkhianatan terhadap kaum tani, kaum buruh, Rakyat Aceh pada khususnya ketika pabrik pupuk seperti AAF di Aceh harus ditutup dan menelantarkan nasib buruhnya karena kekuarangan pasokkan gas padahal di Aceh pula terdapat pertambang gas yang besar di Arun. Adalah layak dikutuk Pemerintahan SBY-Kalla ketika pabrik-pabrik di Sumatera Utara harus mengurangi produksinya dan merumahkan sementara buruhnya karena kurangnya pasokan gas. Demikian juga nasib rakyat pada umumnya yang harus menanggung harga minyak tanah, dan BBM yang terus naik padahal kita merupakan produsen minyak yang produksinya melebihi konsumsi nasional kita. Kenapa justru lebih diprioritaskan untuk diekspor ke Jepang, Korea Selatan, AS, Singapura, China jika Pemerintahan kita bukan kakitangan kaum imperialis. Kita, sebagai penghasil bijih besi melimpah, namun kapasitas produksi industri baja dalam negeri hanya sekitar 50% saja, sehingga industri manufaktur berbahan logam kekuarangan pasokan baja dan harus bergantung pada impor baja.(Kompas, 12 Desember 2006). Demikian juga nasib seluruh industri manufaktur, mereka harus mengimpor bahan baku dan mesin yang mineralnya diambil dari bumi Indonesia sendiri. Sehingga nilai tambanya yang besar justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan di negeri imperialis.

Panji Penghapusan Hutang Luar Negeri

Hutang luar negeri telah menjadi beban yang laur biasa besar bagi APBN. Hutang luar negeri juga telah menjadi instrumen penting kaum imperialis untuk menjajah perekonomian nasional kita. Tak hanya kaum imperialis yang mengeruk untunmg dari politik hutang luar negeri, Pemerintahan Orde baru juga turut menikmatinya dengan cara-cara korupsi. Sehingga menurut bank Dunia sendiri 30% dari ana yang dipinjamkannya dikorupsi oleh Pemrintah Orde Baru. Keuntungan yang dinikmati negeri-negeri kreditur dalam bentuk bunga, fee komitmen, penggunaan kontraktor dan jasa dari negeri kreditur dalam proyek yang dibiayai hutang, juga impor teknologinya sudah melampui nilai hutang yang diberikan oleh negeri kreditur maupun lembaga-lembaga kreditur (Bank Dunia, IMF, ADB dsb). Perbandingannya, negeri-negeri imperialis yang menjadi kreditur mengambil US$ 13 dari negeri debitur dari setiap US$ yang dipinjamkannya. Selama ini hutang luar negeri juga telah menjadi instrumen penting kaum imperialis untuk menjajah perekonomian nasional kita, seluruh kebijakan ekonomi Pemerintah konstitusinya bukan dari UUD 1945, namun dari Letter of Intents dengan IMF, yang diperkuat desaknnya melalui Paris Club dan juga CGI –sebuah forum dari negeri-negeri kreditur dengan Pemerintah Indonesia yang menjadi debitur.

Bahkan jika negergi-negeri imperialis terlalu serakah dengan menolak untuk menghapus hutang-hutang Indonesia, kita hanya menuntut agar diberi moratorium selama 10-15 tahun untuk menunda pembayaran bunga, cicilan pokok, an selama masa moratorium itu beban bunga dibekukan. Kita lebih berhak lagi untuk memperoleh fasilitas ini karena mereka telah menikmati untung yangd emikian besar selama puluhan tahun dari politik hutang luar negeri ini. Jika pemerintahan Argentina mampu, kita juga pasti mampu.

Untuk mendukung program pembiayaan bagi Industrialisasi nasional masih cukup banyak peluang dan potensi yang dapat dimanfaatkan, diantaranya:

  1. Menarik kembali obligasi rekapitalisasi perbankan senilai Rp. 430 triliun, atau minimal meng-nolkan bunganya. Ini akan menghemat APBN luar biasa besarnya, dan mendapat menjadi sumber pembiayaan yang besar. Perkiraan dana APBN untuk membayar bunga obligasi rekap ini sekitar Rp. 600 triliun.
  2. Menasionalisasi harta kekayaan Keluarga Soeharto dan Koprninya. Mereka selama kekuasaan Orde baru telah memperkaya dirinya melalui cara-cara KKN. Harus diterbitkan Dekrit dan UU (jika diperlukan) secara khusus untuk tujuan ini. Rakyat pasti mendukung kebijakan ini, dan hanya segelintir orang pendukung Sorharto yang turut menikmati harta hasil KKN ini yang akan berkeberatan.
  3. Menurut perkiraan Kwik Kian Gie, dari perpajakan dan dan belanja APBN pada tahun 2002 saja terkorup sekitar Rp. 180 triliun dan Rp. 35 triliun, atau sekitar Rp. 215 triliun. Itu dalam setahun. Tahun-tahun selanjutnya rasanya juga tidak banyak berubah karena belum ada gerakan pemberantasan korupsi yang signifikan untuk mengganyang birokrat-birokrat korup ini. Ini artinya pendapatan pajak masih dapat kita genjot hingga dua kali lipat dari nilai pajak yang disetor selama ini. Karena perkiraan itu mengasumsikan bahwa nilai pajak yang dikorup sama dengan nilai pajak yang disetor.
  4. Pembersihan dan pemberantasan dari aparat negara dan pengusaha yang bekerjasama melakukan pencurian kekayaan laut, pasir, kayu. Setiap tahun nilai yang dicuri sekitar US$ 9 milyar. Paling tidak jika kita menghentikan ekspor pasir kita masih akan memperoleh pendapatan sekitar US$ 3 -5 milyar dari pencurian ikan, jika kapasitas nelayan kita ditingkatkan, belum jika pencurian kayu diberantas dan setengah saja dari kayu yang dicuri yaitu sekitar US$ 2,5 milyar kita manfaatkan sendiri akan mendatangkan pendapatan sekitar US$ 1,25 milyar dan atau kayunya dapat kita pergunakan untuk menolong industri perkayuan kita dari kebangkrutan seperti yang terjadi di Kalimantan, dan juga mendatangkan potensi biaya untuk konservasi hutan.

Dengan kekayaan sumber daya alam kita, dengan jumlah penduduk kita yang melimpah tak ada alasan untuk perekonomian kita tidak menjadi modern, produktif dan mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu, bagi Papernas: Nasionalisasi Industri Pertambahan, Hapus Hutang Luar Negeri Untuk Kesejahteraan Rakyat!! menjadi program dan slogan perjuangan yang sangat penting di dalam perjuangan rakyat melawan penghisapan dan dominasi Imperialis dan meletakkan syarat yang modern untuk kemandirian ekonomi nasional dan mensejahterakan rakyat.

Jika menggunakan asumsi rata-rata harga minyak 2005 US$60 per barel maka dengan data BP-MIGAS yang mencatat angka lifting minyak 2005 adalah 364.376.000 barel maka total pendapatan minyak di tahun 2005 adalah US$21,8 miliar. Angka tersebut belum dipotong cost recovery, dengan membengkaknya cost recovery minyak hingga US$4,19 miliar yang harus dibayar pemerintah pada KPS, maka sisa pendapatan migas yang harus dibagi hasil US$17,61 miliar. Dari kontrak kerja sama antara pemerintah dengan KPS, sepertinya tidak ada pembagian hasil 85:15 sebagaimana disebut-sebut selama ini. Rata-rata kontrak kerja sama pemerintah dengan KPS adalah 60% pemerintah dan 40% KPS. Dengan demikian dari pendapatan minyak US$17,61 miliar, pemerintah US$10,6 miliar, KPS US$7,04 miliar, hanya selisih US$3 miliar dari pendapatan pemerintah. Padahal KPS sudah menerima bagian US$4,19 miliar yang harus dibayar pemerintah sebagai cost recovery sehingga total bagian KPS dari seluruh pendapatan migas US$11,23 miliar. Sementara pemerintah hanya mendapat US$10,6 miliar. Dari angka yang ada, maka bagian pemerintah lebih kecil ketimbang KPS[1].

Dan perekonomian kita dewasa ini memang menjadi debu, itulah nasib yang dialami oleh industri dalam negeri seperti yang dialami industri tekstil, garmen, sepatu industri perkebunan, industri perkayuan, tempat dimana jutaan rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya. Pendeknya hampir seluruh industri manufakur kita menjadi debu sehingga secara bersamaan dan bergiliran mengalami kebangkrutan massal yang diiringi dengan PHK-PHK massal. Ironisnya industri-industri ini pada awal perkembangannya juga difasilitasi dan untuk melayani kepentingan industri dan kebutuhan barang-barang yang murah bagi pasar di negeri-negeri imperialis sendiri. Apalagi kini terlampau banyak negeri-negeri semacam Indonesia yang mampu menawarkan harga yang lebih murah, dan dengan kualitas yang lebih bagus untuk produk sejenis. Peranan inilah yang sekarang dipegang oleh negeri-negeri seperti China, India, juga Vietnam menjadi pemasok produk manufaktur ringan untuk melayani kepentingan pasar barang-barang murah di negeri-negeri imperialis, karena industri manufaktur ringan semacam itu sudah tidak ekonomis jika jalankan oleh industri di negeri-negeri imperialis sendiri. Superioritas industri manufaktur ringan, terutama dari China bahkan juga menghancurleburkan negeri pemasok lain yang menjadi pesaingnya, seperti Indonesia.

Sementara itu industri-industri di negeri-negeri imperialis bisa terus diarahkan untuk memperkuat industri berat dan high-tech-nya. Untuk kepentingan inilah, maka industri pertambangan dimanapun, diseluruh sudut dimuka bumi menjadi begitu vital untuk dikuasai oleh negeri-negeri imperialis. Ketika mengomentari perkembangan kapitalisme di Inggris Soekarno menyatakan: “…Negeri Inggeris adalah …negeri dengan banjak sjarat-sjarat , …negeri dengan banjak tambang-tambang, banjak arang-batu, banjak tambang-besi… Basisgrondstoffen inilah sjarat-sjaratnja tiap-tiap mechanisme dan industrialisme jang besar…itu menjadi subur.” Sedemikian vitalnya industri pertambangan bagi industri modern, sebagai dasar-dasarnya berjalannnya roda industri modern.

Dengan dikuasainya industri-industri pertambangan seperti sumber-sumber tambang di Indonesia makin terjaminlah dominasi negeri-negeri imperialis sebagai produsen barang-barang manufaktur modern. Terlebih tidak semua negeri imperialis mempunyai sumber daya pertambangan yang melimpah seperti Jepang, atau juga negeri-negeri imperalis yang mempunyai sumber daya tambang yang melimpah ini pun oleh karena telah dieksploitasi selama puluhan tahun menjadi berkurang dan membutuhkan sumber-sumber tambang yang baru seperti AS. Sedikit goncangan pada harga minyak seperti yang terjadi belakangan ini pengaruhnya telah menimbulkan guncangan ekonomi pada skala dunia.

Adalah tidak masuk akal, Indonesia, sebuah negeri yang memiliki cadangan minyak bumi (yang terlacak) adalah sebesar 4,6 milyar barrel, penghasil 25% timah, 2,2% batubara, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia, gagal menstransformasikan perekonomiannya menjadi modern. Pertambangan tidak menjadi modal untuk industrialisasi dalam negeri. Kontribusi sektor pertambangan bahkan sangat kecil bagi pendapatan negara, dalam kurun waktu 3 tahun terkhir hanya memberi kontribusi rata-rata 80-90 triliun rupiah per tahun. Kenapa demikian? Karena hasil-hasil pertambangan lebih diprioritaskan untuk diekspor, dan itu-pun sering kali dalam bentuk bahan mentah. Sehingga nilai tambah dari pengolahan bahan-bahan mineral tambang yang nilainya lebih besar malah dinikmati oleh Jepang, Amerika, Australia.

Silabus Materi Tripanji; Jalan Keluar Rakyat Indonesia:

1. Indonesia merdeka tanggal 17 agustus 1945, dan diakui oleh negara-negara internasional. Tetapi, bagi papernas Indonesia belum merdeka sepenuh-penuhnya(sejati) karena masih ada Imperialisme (baca; penjajahan bentuk baru). Bagaimana menurut anda?

2. Indonesaia di akui sebagai negara paling terbelakang tekhnologi dan ekonominya (paling katro), kita sama sekali tidak punya tekhnologi “made in indonesia” semuanya buatan asing. Korek api saja made in sweden! Nah, menurut anda yang menjadi faktor penyebab keterbelakangan tenaga produktif di Indonesia (tekhnologi dan SDM)?

3. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor minyak,dan masuk dalam OPEC, tetapi dimana-mana rakyat antri mencari minyak tanah. Menurut data diatas, hampir semua sumber minyak dan tambang kita di kuasai oleh asing. Bagaimana tanggapan saudara? Kenapa ini bisa terjadi?

4. menurut anda kenapa soekarno lebih berani daripada Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, dan terutama SBY-Kalla dalam menghadapi negara-negara imperialis? Apa hubungan pemerintah kita dengan pemerintahan asing, sehingga sangat tunduk pada mereka?

5. apa hakekat utang luar negeri terhadap sistem ekonomi dan politik negara-negara miskin termasuk Indonesia? Apa yang dimaksud dengan utang najis (audius debt/illegitime debt)?

6. bagaimana menurut anda memposisikan keberadaan perusahaan tambang di Indonesia? Jika di atas dikatakan bahwa Indonesia tidak memperoleh apa-apa dari kontrak-kontrak industri pertambangan tersebut. bagaimana langkah nasionalisasi yang tepat menurut anda? Jelaskan esensi dari penjajahan di bidang ekonomi menurut saudara?

7. jika semua sektor perekonomian dalam negeri di kuasai oleh asing (pertambangan, finasial, telekomunikasi, perdgangan dan lain-lain), adakah potensi Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan?

8. jika kita menjalankan program Industrialisasi nasional tentu butuh tehknology dan modal, disisi lain kita tidak akan mungkin meminta kepada negara imperialis. Menurut anda, bagaimana memperoleh modal dan tekhnologi untuk mendukung program Industrialisasi nasional?

9. menurut Anda, apakah program tri panji betul-betul bisa menjadi jalan keluar rakyat Indonesia saat ini? Bagaiamana jika negara imperialis memblokade dan mengisolasi negara kita?

10. menurut anda seperti apa kemandirian ekonomi nasional itu? Apa hubungannya dengan tri panji sebagai jalan keluar?



[1] Bisnis Indonesia : Friday, June 30, 2006

Nasionalisasi industri

NASIONALISASI INDUSTRI PERTAMBANGAN ASING UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT

oleh: Adninistrator

“Pertanian, pertambangan, manufaktur, singkat kata, semua cabang produksi akan secara bertahap terorganisasi dalam bentuk yang paling efektif. Sentralisasi atas alat-alat produksi secara nasional akan menjadi basis alamiah sesuatu masyarakat yang tersusun dari asosiasi-asosiasi para produser yang bebas dan sederajat, yang secara sadar beraksi berdasarkan sebuah rencana umum dan rasional.”

Memorandum untuk Robert Applegarth, 3 Desember 1869 (Karl Marx)

Dirampoki di Tanah Sendiri
Maret 2006-tidak sampai 24 jam sebelum Menlu AS, Condoleezza Rice, mendarat di Jakarta, ExxonMobil - diumumkan sebagai kepala operator eksplorasi Cepu. Korporasi yang dikabarkan ‘membantu’ pendanaan kampanye George W. Bush sebesar 2,8 juta dollar AS untuk terpilih sebagai presiden pada tahun 2004, telah disahkan oleh rejim SBY-JK sebagai pemilik kekayaan minyak bumi Rakyat Indonesia sebesar 2,6 miliar barel (atau mendekati separuh cadangan minyak Indonesia seluruhnya) . Bulan September 2006, giliran salah satu komprador terbesar bagi kaum imperialisme yang sekaligus menjabat sebagai RI 2, Jusuf Kalla, yang ‘melawat’ ke AS untuk menemui tuannya- Penguasa AS dan Vice President ExxonMobil. Agenda sejati mereka hanya satu: kelanjutan operasi ExxonMobil di ladang gas Natuna - sumber gas terbesar bagi ExxonMobil dan juga Dunia. Setelah menimbulkan suara-suara sumbang menyangkut ketidak adilan kontrak bagi hasil Natuna selama puluhan tahun, Bush pun dirasa perlu berkunjung ke Indonesia untuk memastikan agar ‘semuanya baik-baik saja’. Seorang mandor yang baik tentu akan patuh kepada tuannya, begitupun SBY-JK. Exxon hanya salah satu dari puluhan MNC pertambangan (migas dan mineral) yang bercokol di tanah air.

Seminggu setelah dikunjungi Bush, SBY disertai beberapa menteri berangkat ke Jepang untuk mengunjungi tuan mereka yang lainnya. Di negara yang 62 korporasinya menguasai 40,7% bisnis global dan 18,3% laba global ini , mereka menemui tuan-tuannya dari tujuh perusahaan dan organisasi perdagangan di Jepang . Agenda ‘penting’ mereka pun tak jauh beda dari sebelum-sebelumnya: kepatian ekspor gas dari Indonesia untuk korporasi-korporasi Jepang. Hasil pertemuan tersebut pun telah dapat diterka sebelumnya, RI menjamin pasokan gas untuk Jepang sampai tahun 2010 dan 2011 . Penanda tanganan kontrak ini dilakukan tanpa pernah menyesali kolapsnya beberapa industri pupuk di tanah air akibat kekurangan pasokan gas, ataupun langkanya gas di tanah air untuk suplai sektor energi (listrik), manufaktur, dan rumah tangga. Saking ‘bernafsu’nya untuk mengekspor gas, pemerintah akhirnya ‘terlanjur’ menandatangani beleid yang menyebutkan bahwa 75% hasil produksi gas kita haruslah diekspor- sisanya baru untuk konsumsi domestik. Akibatnya jelas, Pertamina lagi-lagi harus memenuhi kebutuhan gasnya dengan mengimpor dari Oman dan Qatar .

Pertamina, sebagai industri ekstraktif migas milik negara, sampai saat ini sangat lah lemah secara posisi penguasaan sumber daya alam.Tabel di bawah mungkin dapat merepresentasikan kenyataan tersebut.

Kemampuan Pertamina untuk memproduksi minyak bumi hanya sebesar 0,04% (43,6 ribu barel dibagi 1,146 juta barel) dari total keseluruhan produksi minyak bumi Indonesia. Alih-alih mendesak adanya alih teknologi dalam pengelolaan kekayaan migas di hulu (up stream), untuk memperkuat industri migas nasional, pemerintah malahan mensahkan UU Migas No. 22 tahun 2001 yang mengebiri wewenangnya dalam pengelolaan industri hilir (down stream). Janganlah heran jika harga BBM harus dinaikkan dua kali tahun 2005 kemarin (Maret dan Oktober). Bukanlah suatu kebetulan jika SPBU asing pertama milik SHELL mulai dioperasikan sebulan setelah kenaikan harga BBM Oktober 2005 . Alasan lemahnya kemampuan (baca: teknologi) manusia Indonesia untuk mengelola ini lah yang sangat sering digunakan pemerintah untuk menghindar dari program sejati kita: nasionalisasi industri pertambangan. Argumen ini bersifat paradoksial mengingat minimnya perhatian pemerintah selama ini terhadap sektor peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia (baca: pendidikan dan kesehatan). Sikap pro imperialis secara gamblang diucapkan oleh SBY pidatonya di pembukaan Forum Investasi regional Indonesia 2006 di Jakarta tanggal 2 November 2006 kemarin yang mengungkapkan bahwa rejimnya tidak akan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing . Hal ini membuktikan rejim SBY-JK dengan sangat ‘tulus’ menjalankan tugasnya sebagai mandor kaum imperialis (dalam mengeruk kekayaan alam Indonesia).

Sejak masa Orde Baru, kepentingan pokok dari kaum imperialis terhadap negeri seperti Indonesia adalah sebagai sumber bahan baku utama sekaligus energi bagi industri modern di negeri-negeri imperialis utama. Yang untuk itu, mereka tega menukarnya dengan darah jutaan rakyat dan penutupan ruang demokrasi selama 32 tahun plus pembodohan dan pemiskinan massal. Akibat pengerukan yang dilakukan oleh modal asing (baca: imperialis) selama empat dasawarsa kita tinggal menunggu cadangan mineral, logam, minyak, dan gas Indonesia habis terkuras. Perlu dicatat bahwa sampai saat ini Indonesia adalah penghasil 25% timah, 2,2% batubara, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia . Berlawanan dengan semakin menipisnya cadangan mineral tambang kita, sampai saat ini sumbangan industri pertambangan pada PDB tidak pernah menembus angka 3% , atau tidak pernah lebih dari 50 trilyun rupiah. Bandingkan dengan perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari PT Freeport (salah satu dari banyaknya perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia) di lubang Grasberg yang setara dengan 1,5 milyar US$ (15 trilyun rupiah). Lemahnya kedaulatan negara atas kekayaan alamnya diwakili oleh data bahwa saham PT. Freeport yang dimiliki pemerintah Indonesia hanya sebesar 9,4% dari keseluruhan saham. Hal itu ditambah kelemahan-kelemahan yang ada pada Kontrak Karya pertambangan kita .

Merujuk data tahun 1995, di areal tersebut tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52,1 juta ons. Deposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar AS. Hingga 45 tahun ke depan penambangan di Grasberg masih menguntungkan. Kemasan promosinya yang paling menakjubkan adalah, biaya produksi tambang emas dan tembaga di sini yang termurah di dunia. Tapi lihatlah apa yang terjadi atas penduduk asli dari suku Amungme maupun suku-suku lainnya. Jika disimak dari kategori Alvin Toffler, The Third Wave, sebagian besar dari mereka hidup masih seperti di zaman batu. Dengan kaki telanjang dan penutup tubuh hanya sebatas kemaluan, mereka mengembara di hutan-hutan, mengejar binatang buruan bersenjatakan panah dan tombak. Nyaris tidak masuk akal bahwa ada mahluk manusia bertahan dengan cara demikian di tengah udara dingin di atas ketinggian lebih 2.000 m dari permukaan laut .

Nasib sektor minyak dan gas (migas) pun tidak jauh berbeda. Pengerukan skala besar selama puluhan tahun terhadap sumur-sumur minyak, dengan selalu mengatas namakan devisa , sangat sedikit kontribusinya terhadap peningkatan taraf hidup rakyat kita. Padahal, dengan produksi minyak sebanyak 500 juta bbl per tahun, Indonesia punya sisa waktu hingga 10 tahun. Sedangkan dengan produksi 2,9 TSCF per tahun, cadangan gas bumi akan kosong dalam 30 tahun . Sepanjang kurun waktu tiga tahun terakhir, pemasukan sektor migas- yang mayoritasnya adalah ekspor- mencapai 25% (rata-rata) dari keseluruhan pendapatan negara (APBN), atau sekitar 70-80 trilyun rupiah. Sayangnya nilai tersebut sangat tidak ada artinya jika dibandingkan dengan keuntungan sebesar 170 trilyun rupiah per tahun yang akan diraih Exxon ke depannya di blok Cepu saja. Besarnya kekayaan migas yang ‘dirampok’ imperialis bisa dilihat dari sekitar 137 perusahaan migas yang kini beroperasi di Indonesia, sedangkan hanya 20 di antaranya yang merupakan perusahaan nasional .

Belum lagi dalam persoalan pembagian hasil produksi dengan KPS-KPS (kontraktor production sharing) atau MNC-MNC migas dan cost recovery yang begitu merugikan bangsa kita. Sebagai contoh mungkin bisa dipergunakan data per-migas-an kita setahun lalu. Jika menggunakan asumsi rata-rata harga minyak 2005 US$60 per barel maka dengan data BP-MIGAS yang mencatat angka lifting minyak 2005 adalah 364.376.000 barel maka total pendapatan minyak di tahun 2005 adalah US$21,8 miliar. Angka tersebut belum dipotong cost recovery, dengan membengkaknya cost recovery minyak hingga US$4,19 miliar yang harus dibayar pemerintah pada KPS, maka sisa pendapatan migas yang harus dibagi hasil US$17,61 miliar. Dari kontrak kerja sama antara pemerintah dengan KPS, sepertinya tidak ada pembagian hasil 85:15 sebagaimana disebut-sebut selama ini. Rata-rata kontrak kerja sama pemerintah dengan KPS adalah 60% pemerintah dan 40% KPS. Dengan demikian dari pendapatan minyak US$17,61 miliar, pemerintah US$10,6 miliar, KPS US$7,04 miliar, hanya selisih US$3 miliar dari pendapatan pemerintah. Padahal KPS sudah menerima bagian US$4,19 miliar yang harus dibayar pemerintah sebagai cost recovery sehingga total bagian KPS dari seluruh pendapatan migas US$11,23 miliar. Sementara pemerintah hanya mendapat US$10,6 miliar. Dari angka yang ada, maka bagian pemerintah lebih kecil ketimbang KPS .

Kesemuanya menjadi lengkap setelah pada tahun 2001 disahkan saebuah UU migas yang sangat pro imperialis- UU Migas No.22 tahun 2001- yang akan semakin mempermudah MNC-MNC Migas dunia seperti Shell, Petronas, Total, Chevron, dan Texaco menjelajahi ranah usaha yang sama sekali baru tetapi cukup menggiurkan bagi mereka - sektor hilir migas. Undang-undang yang salah satu pra syarat pencairan pinjaman lembaga-lembaga keuangan dunia, telah memuluskan liberalisasi sektor hilir migas seperti pengilangan, pengangkutan, sampai ke pemasaran. Sangat logis jika agenda pengurangan subsidi BBM dilakukan secara ‘serius’ sekali oleh rezim Mega-Hamzah sampai ke SBY-JK. Persaingan di sektor hilir harus dibuat ‘seadil-adilnya’ untuk tamu-tamu asing tersebut (baca: MNC-MNC migas). Sungguh menyedihkan bila melihat bagaimana Pertamina yang korup dan hampir bangkrut dipaksa bersaing dengan MNC-MNC bermodal besar dan teknologi tinggi, sampai akhirnya dapat dipastikan akan tersingkir sama sekali di masa depan jika tidak ada perubahan (baca: reformasi) yang radikal di dalam tubuhnya .

Dengan ideologi yang menghamba pada modal asing (baca: neo-liberal), rezim orde baru dan reformis gadungan penerusnya memaksa rakyat Indonesia memandangi begitu saja kekayaan alam (plus keuntungannya) mereka dibawa lari ke luar negeri sambil terus dimiskinkan secara massal, serta meratapi bagaimana satu-satunya perusahaan nasional yang bisa mereka andalkan (baca: Pertamina) dikebiri.

Nasionalisasi: Merebut Kembali Kedaulatan atas Kekayaan Alam Pertambangan

“Kami menasionalisasi seluruh sumber minyak dan gas bumi negara ini, bersama ini pemerintahan mengambil alih keuntungan, kepemilikan dan memiliki kontrol total dan absolut terhadap seluruh sumber alam ini. Kami memulainya dengan nasionalisasi migas. Besok kami akan menambahnya dengan pertambangan, kehutanan dan semua sumber alam yang telah diperjuangkan nenek moyang kami,”

Cuplikan pidato Evo Morales di ladang gas San Alberto, Bolivia Selatan, 1 Mei 2006

Kita tak boleh diam melihat kenyataan yang telah diuraikan di atas. Sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33, sudah saatnya kekayaan alam tanah nusantara harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran mayoritas rakyat, bukan cuma untuk kaum imperialis dan segelintir anteknya di tanah air saja. Rakyat miskin Indonesia yang jumlahnya telah mencapai 115 juta harus juga merasakan warisan mereka dari Ibu Pertiwi, yang imperialisme melalui kaki-kakinya telah mengangkangi kekayaan itu. Karena telah dapat disimpulkan bahwa penguasaan industri pertambangan, dan menjadikan Indonesia sebagai pasar, adalah jantungnya kepentingan utama imperialisme di Indonesia, maka jalan keluar utama untuk membendung dan melawan arus penjajahan asing adalah dengan melaksanakan program nasionalisasi seluruh aset pertambangan dan migas pada tahap awalnya. Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh imperialisme. Bagaimanapun juga, penguasaan sumber-sumber pendapatan yang penting bagi negara adalah landasan bagi terwujudnya program-program mendesak rakyat . Oleh karena itu, dukungan mayoritas rakyat sangat diperlukan.

Ada beberapa metode yang pernah digunakan di dunia untuk melakukan nasionalisasi semacam ini. Yang pertama adalah dengan jalan mere-negoisasi kontrak kerja sama (Kontrak Karya dan Kontrak KPS). Langkah ini ditempuh baru-baru saja oleh Bolivia. Pada tanggal 1 Mei 2006 lalu, sekaligus dalam rangka peringatan Hari Buruh Sedunia, Presiden Evo Morales mengleuarkan sebuah dekrit yang memutuskan untuk menasionalisasi seluruh aset migas di Bolivia yang diwujudkan dengan paksaan untuk re-negoisasi seluruh kontrak yang telah ada. Disebutkan bahwa seluruh perusahaan energi asing memiliki waktu 180 hari untuk menyetujui kontrak baru dengan perusahaan milik pemerintah Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB)-semacam Pertamina nya Bolivia. Selama masa transisi, YPFB akan memperoleh pemasukan 82 persen dan produsen (MNC-MNC) hanya 18 persen. Hanya perusahaan yang mau menerima kontrak baru tersebut yang diizinkan beroperasi di Bolivia. Langkah ini dilakukan dengan mengajak seluruh rakyat. Dalam salah satu pidatonya Morales memanggil para warga Bolivia untuk memobilisasi diri guna menghadapi setiap upaya sabotase yang dilakukan pihak lain atas operasi pengambilalihan itu. Tidak ketinggalan militer setempat pun ikut digerakkan atas komando sang presiden. Tak lama setelah Morales mengeluarkan perintah itu, pimpinan militer segera mengerahkan pasukannya ke ladang migas yang ada di negara Amerika Latin itu. Sekitar 56 ladang migas telah diduduki oleh negara.

Perubahan dalam kontrak meliputi aspek peningkatan pembagian keuntungan (saham), kejelasan konsep alih teknologi, dan peningkatan pajak/royalti. Jika diasumsikan bahwa investor akan lari karena hal-hal tersebut, itu hanyalah rasa takut yang tidak beralasan. Hal tersebut telah terbukti di Venezuela. Pada tahun tahun lalu pemeritah Venezuela minta kepada maskapai-maskapai swasta asing itu untuk merobah kontrak mereka dengan menjadikannya sebagai joint-venture atau mixed company bersama Petroleos deVenezuela SA (semacam Pertamina nya Venezuela), dengan pembagian saham sedikitnya 60% untuk perusahaan minyak negara Venezuela. Banyak maskapai-maskapai asing ini menerima tawaran syarat-syarat baru ini tanpa banyak perlawanan, karena berpendapat bahwa meskipun lebih banyak uang yang masuk kas negara Venezuela, mereka toh masih mendapat keuntungan juga.

Yang kedua adalah penghentian sepihak kontrak yang sudah ada dan kemudian memberikan kompensasi. Jika kepentingan nasional mendesak dan merugikan, kita berhak melakukan secara sepihak pemutusan kontrak lalu memberikan kompensasi seperlunya untuk masa kontrak yang belum dipenuhi. Ini seperti pernah dilakukan Perdana Menteri Iran Mossadegh yang pernah menasionalisasi perusahaan minyak Anglo-Iranian pada masanya berkuasa . Memang betul bahwa tindakan penghentian kontrak karya ditengah jalan memungkinkan dibawanya negara ke arbitrase internasional . Namun demikian, hak ini dibatasi hanya untuk menentukan batas kompensasi yang wajar yang diakibatkan oleh “nasionalisasi atau pengambilalihan total dari hak kepemilikan perusahaan modal asing”. Pasal ini dengan demikian hanya relevan pada kasus-kasus dimana terjadi pengambilalihan investasi seluruhnya dan secara langsung oleh negara, misalnya ketika pemerintahan mengambil alih operasi perusahaan modal asing dan menjadikannya milik negara.

Kalaupun harus menghadapi semacam pengadilan internasional akibat pemutusan sepihak atau pelanggaran terhadap kontrak oleh negara, pemerintahan kita dengan dukungan rakyat harus berani menanggungnya. Ini mirip seperti apa yang diungkapkan Menteri Urusan Minyak Venezuela Ramirez soal kesiapannya menghadapi konfrontasi dengan maskapai-maskapai asing yang mereka sita ladang minyaknya, seperti TOTAL (Perancis) dan ENI (Italia). Ia mengatakan bahwa pemerintahnya “siap untuk pergi ke pengadilan di langit kalau mereka mau”, dan memperingatkan bahwa maskapai-maskapai asing yang terlibat dalam konfrontasi semacam itu tidak akan diikutsertakan dalam proyek-proyek yang akan datang di Venezuela yang mempunyai cadangan minyak sangat besar itu.

Metode yang ketiga adalah dengan menasionalisasi secara langsung tanpa adanya re-negoisasi kontrak ataupun kompensasi. Situasi-situasi yang revolusioner dari massa rakyat sangat menunjang untuk pelaksanaan metode ini. Contoh yang paling bagus adalah seperti dalam kasus Kuba. Setahun setelah Revolusi Kuba 1959, pemerintah Fidel Castro menasionalisasi kilang-kilang minyak AS, Texaco dan Exxon, serta Shell milik Belanda, juga menasionalisasi seluruh industri pokok—termasuk 382 perusahaan dalam negeri—sektor perbankan swasta asing dan dalam negeri. Upaya yang mirip juga pernah terjadi di Indonesia pada zaman pemerintahan Sukarno saat suhu perpolitikan tanah air sedang panas sekali di penghujung tahun 50-an. Himbauan langsung dari Sukarno untuk menasionalisasi seluruh aset Belanda yang ada di Indonesia disambut dengan meluasnya aksi-aksi rakyat buruh-tani yang terorganisir di bawah PKI di banyak daerah. Tetapi sangat disayangkan aksi-aksi rakyat tersebut begitu mudahnya dikooptasi oleh kelompok militer reaksioner. Seluruh perusahaan yang telah berhasil dinasionalisasi kekuatan buruh-tani diserahkan semerta-merta kepada militer

Kegagalan masa lalu harus menjadi pelajaran untuk gerakan rakyat ke depannya. Setelah disajikan beberapa pilihan langkah untuk menasionalisasi, rakyat lah yang akan menentukan metode seperti apa yang digunakan sesuai dengan kondisi objektif yang berlaku dan yang paling memungkinkan. Program ini haruslah diyakini rakyat karena banyak sekali hal baik yang bisa dicapai untuk bangsa dengan melaksanakannya. Contoh lainnya yang bisa mewakili keuntungan dari nasionalisasi adalah Rusia. Dari usaha nasionalisasi, Rusia telah mengambil alih perusahaan-perusahan swasta di antaranya pertambangan milik Yukos, perusahaan swasta perminyakan raksasa. Hasilnya adalah Rusia berhasil meraih pendapatan ratusan miliar dolar AS dari ekspor migas. Sehingga anggaran belanja negara mencatat surplus sebesar 56 miliar dollar AS. Rusia juga bisa memiliki cadangan devisa sebesar 277 miliar dollar AS, ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan Jepang. Jika berhasil menasionalisasi sektor migas saja, Indonesia akan menguasai mutlak minimalnya delapan milyar barrel cadangan minyak mentah Indonesia (produksi tahunan minyak mentah kita sekitar satu jutaan barrel) yang dengan asumsi harga minyak internasional 60 dollar AS per barrelnya akan bisa menyumbang cadangan devisa kita sebesar 480an milyar dollar AS.

Tri Panji Persatuan Nasional sebagai Jalan Keluar

Dirampoki di Tanah Sendiri

Oleh Administrator

Sejak masa Orde Baru, kepentingan pokok dari kaum imperialis terhadap negeri seperti Indonesia adalah sebagai sumber bahan baku utama sekaligus energi bagi industri modern di negeri-negeri imperialis utama. Yang untuk itu, mereka tega menukarnya dengan darah jutaan rakyat dan penutupan ruang demokrasi selama 32 tahun plus pembodohan dan pemiskinan massal. Akibat pengerukan[1] yang dilakukan oleh modal asing (baca: imperialis) selama empat dasawarsa[2] kita tinggal menunggu cadangan mineral, logam, minyak, dan gas Indonesia habis terkuras. Perlu dicatat bahwa sampai saat ini Indonesia adalah penghasil 25% timah, 2,2% batubara, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia[3]. Berlawanan dengan semakin menipisnya cadangan mineral tambang kita, sampai saat ini sumbangan industri pertambangan pada PDB tidak pernah menembus angka 3%[4], atau tidak pernah lebih dari 50 trilyun rupiah. Bandingkan dengan perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari PT Freeport (salah satu dari banyaknya perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia) di lubang Grasberg yang setara dengan 1,5 milyar US$ (15 trilyun rupiah).[5] Lemahnya kedaulatan negara atas kekayaan alamnya diwakili oleh data bahwa saham PT. Freeport yang dimiliki pemerintah Indonesia hanya sebesar 9,4% dari keseluruhan saham. Hal itu ditambah kelemahan-kelemahan yang ada pada Kontrak Karya pertambangan kita[6].

Merujuk data tahun 1995, di areal tersebut tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52,1 juta ons. Deposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar AS. Hingga 45 tahun ke depan penambangan di Grasberg masih menguntungkan. Kemasan promosinya yang paling menakjubkan adalah, biaya produksi tambang emas dan tembaga di sini yang termurah di dunia. Tapi lihatlah apa yang terjadi atas penduduk asli dari suku Amungme maupun suku-suku lainnya. Jika disimak dari kategori Alvin Toffler, The Third Wave, sebagian besar dari mereka hidup masih seperti di zaman batu. Dengan kaki telanjang dan penutup tubuh hanya sebatas kemaluan, mereka mengembara di hutan-hutan, mengejar binatang buruan bersenjatakan panah dan tombak. Nyaris tidak masuk akal bahwa ada mahluk manusia bertahan dengan cara demikian di tengah udara dingin di atas ketinggian lebih 2.000 m dari permukaan laut[7].

Nasib sektor minyak dan gas (migas) pun tidak jauh berbeda. Pengerukan skala besar selama puluhan tahun terhadap sumur-sumur minyak, dengan selalu mengatas namakan devisa[8], sangat sedikit kontribusinya terhadap peningkatan taraf hidup rakyat kita. Padahal, dengan produksi minyak sebanyak 500 juta bbl per tahun, Indonesia punya sisa waktu hingga 10 tahun. Sedangkan dengan produksi 2,9 TSCF per tahun, cadangan gas bumi akan kosong dalam 30 tahun[9]. Sepanjang kurun waktu tiga tahun terakhir, pemasukan sektor migas- yang mayoritasnya adalah ekspor- mencapai 25% (rata-rata) dari keseluruhan pendapatan negara (APBN), atau sekitar 70-80 trilyun rupiah. Sayangnya nilai tersebut sangat tidak ada artinya jika dibandingkan dengan keuntungan sebesar 170 trilyun rupiah per tahun[10] yang akan diraih Exxon ke depannya di blok Cepu saja. Besarnya kekayaan migas yang ‘dirampok’ imperialis bisa dilihat dari sekitar 137 perusahaan migas yang kini beroperasi di Indonesia, sedangkan hanya 20 di antaranya yang merupakan perusahaan nasional[11].

Belum lagi dalam persoalan pembagian hasil produksi dengan KPS-KPS (kontraktor production sharing) atau MNC-MNC migas dan cost recovery[12] yang begitu merugikan bangsa kita. Sebagai contoh mungkin bisa dipergunakan data per-migas-an kita setahun lalu. Jika menggunakan asumsi rata-rata harga minyak 2005 US$60 per barel maka dengan data BP-MIGAS yang mencatat angka lifting minyak 2005 adalah 364.376.000 barel maka total pendapatan minyak di tahun 2005 adalah US$21,8 miliar. Angka tersebut belum dipotong cost recovery, dengan membengkaknya cost recovery minyak hingga US$4,19 miliar yang harus dibayar pemerintah pada KPS, maka sisa pendapatan migas yang harus dibagi hasil US$17,61 miliar. Dari kontrak kerja sama antara pemerintah dengan KPS, sepertinya tidak ada pembagian hasil 85:15 sebagaimana disebut-sebut selama ini. Rata-rata kontrak kerja sama pemerintah dengan KPS adalah 60% pemerintah dan 40% KPS. Dengan demikian dari pendapatan minyak US$17,61 miliar, pemerintah US$10,6 miliar, KPS US$7,04 miliar, hanya selisih US$3 miliar dari pendapatan pemerintah. Padahal KPS sudah menerima bagian US$4,19 miliar yang harus dibayar pemerintah sebagai cost recovery sehingga total bagian KPS dari seluruh pendapatan migas US$11,23 miliar. Sementara pemerintah hanya mendapat US$10,6 miliar. Dari angka yang ada, maka bagian pemerintah lebih kecil ketimbang KPS[13].

Kesemuanya menjadi lengkap setelah pada tahun 2001 disahkan saebuah UU migas yang sangat pro imperialis- UU Migas No.22 tahun 2001- yang akan semakin mempermudah MNC-MNC Migas dunia seperti Shell, Petronas, Total, Chevron, dan Texaco menjelajahi ranah usaha yang sama sekali baru tetapi cukup menggiurkan bagi mereka - sektor hilir migas. Undang-undang yang salah satu pra syarat pencairan pinjaman lembaga-lembaga keuangan dunia, telah memuluskan liberalisasi sektor hilir migas seperti pengilangan, pengangkutan, sampai ke pemasaran. Sangat logis jika agenda pengurangan subsidi BBM dilakukan secara ‘serius’ sekali oleh rezim Mega-Hamzah sampai ke SBY-JK. Persaingan di sektor hilir harus dibuat ‘seadil-adilnya’ untuk tamu-tamu asing tersebut (baca: MNC-MNC migas). Sungguh menyedihkan bila melihat bagaimana Pertamina yang korup dan hampir bangkrut dipaksa bersaing dengan MNC-MNC bermodal besar dan teknologi tinggi, sampai akhirnya dapat dipastikan akan tersingkir sama sekali di masa depan jika tidak ada perubahan (baca: reformasi) yang radikal di dalam tubuhnya[14].

Dengan ideologi yang menghamba pada modal asing (baca: neo-liberal), rezim orde baru dan reformis gadungan penerusnya memaksa rakyat Indonesia memandangi begitu saja kekayaan alam (plus keuntungannya) mereka dibawa lari ke luar negeri sambil terus dimiskinkan secara massal, serta meratapi bagaimana satu-satunya perusahaan nasional yang bisa mereka andalkan (baca: Pertamina) dikebiri.

Nasionalisasi: Merebut Kembali Kedaulatan atas Kekayaan Alam Pertambangan

“Kami menasionalisasi seluruh sumber minyak dan gas bumi negara ini, bersama ini pemerintahan mengambil alih keuntungan, kepemilikan dan memiliki kontrol total dan absolut terhadap seluruh sumber alam ini. Kami memulainya dengan nasionalisasi migas. Besok kami akan menambahnya dengan pertambangan, kehutanan dan semua sumber alam yang telah diperjuangkan nenek moyang kami,''

Cuplikan pidato Evo Morales di ladang gas San Alberto, Bolivia Selatan, 1 Mei 2006

Kita tak boleh diam melihat kenyataan yang telah diuraikan di atas. Sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33, sudah saatnya kekayaan alam tanah nusantara harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran mayoritas rakyat, bukan cuma untuk kaum imperialis dan segelintir anteknya di tanah air saja. Rakyat miskin Indonesia yang jumlahnya telah mencapai 115 juta[15] harus juga merasakan warisan mereka dari Ibu Pertiwi, yang imperialisme melalui kaki-kakinya telah mengangkangi kekayaan itu. Karena telah dapat disimpulkan bahwa penguasaan industri pertambangan, dan menjadikan Indonesia sebagai pasar, adalah jantungnya kepentingan utama imperialisme di Indonesia, maka jalan keluar utama untuk membendung dan melawan arus penjajahan asing adalah dengan melaksanakan program nasionalisasi seluruh aset pertambangan dan migas pada tahap awalnya. Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh imperialisme. Bagaimanapun juga, penguasaan sumber-sumber pendapatan yang penting bagi negara adalah landasan bagi terwujudnya program-program mendesak rakyat[16]. Oleh karena itu, dukungan mayoritas rakyat sangat diperlukan.

Ada beberapa metode yang pernah digunakan di dunia untuk melakukan nasionalisasi semacam ini. Yang pertama adalah dengan jalan mere-negoisasi kontrak kerja sama (Kontrak Karya dan Kontrak KPS). Langkah ini ditempuh baru-baru saja oleh Bolivia. Pada tanggal 1 Mei 2006 lalu, sekaligus dalam rangka peringatan Hari Buruh Sedunia, Presiden Evo Morales mengleuarkan sebuah dekrit yang memutuskan untuk menasionalisasi seluruh aset migas di Bolivia yang diwujudkan dengan paksaan untuk re-negoisasi seluruh kontrak yang telah ada. Disebutkan bahwa seluruh perusahaan energi asing memiliki waktu 180 hari untuk menyetujui kontrak baru dengan perusahaan milik pemerintah Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB)-semacam Pertamina nya Bolivia. Selama masa transisi, YPFB akan memperoleh pemasukan 82 persen dan produsen (MNC-MNC) hanya 18 persen. Hanya perusahaan yang mau menerima kontrak baru tersebut yang diizinkan beroperasi di Bolivia. Langkah ini dilakukan dengan mengajak seluruh rakyat. Dalam salah satu pidatonya Morales memanggil para warga Bolivia untuk memobilisasi diri guna menghadapi setiap upaya sabotase yang dilakukan pihak lain atas operasi pengambilalihan itu. Tidak ketinggalan militer setempat pun ikut digerakkan atas komando sang presiden. Tak lama setelah Morales mengeluarkan perintah itu, pimpinan militer segera mengerahkan pasukannya ke ladang migas yang ada di negara Amerika Latin itu. Sekitar 56 ladang migas telah diduduki oleh negara.

Perubahan dalam kontrak meliputi aspek peningkatan pembagian keuntungan (saham), kejelasan konsep alih teknologi, dan peningkatan pajak/royalti. Jika diasumsikan bahwa investor akan lari karena hal-hal tersebut, itu hanyalah rasa takut yang tidak beralasan. Hal tersebut telah terbukti di Venezuela. Pada tahun tahun lalu pemeritah Venezuela minta kepada maskapai-maskapai swasta asing itu untuk merobah kontrak mereka dengan menjadikannya sebagai joint-venture atau mixed company bersama Petroleos deVenezuela SA (semacam Pertamina nya Venezuela), dengan pembagian saham sedikitnya 60% untuk perusahaan minyak negara Venezuela. Banyak maskapai-maskapai asing ini[17] menerima tawaran syarat-syarat baru ini tanpa banyak perlawanan, karena berpendapat bahwa meskipun lebih banyak uang yang masuk kas negara Venezuela, mereka toh masih mendapat keuntungan juga.

Yang kedua adalah penghentian sepihak kontrak yang sudah ada dan kemudian memberikan kompensasi. Jika kepentingan nasional mendesak dan merugikan, kita berhak melakukan secara sepihak pemutusan kontrak lalu memberikan kompensasi seperlunya untuk masa kontrak yang belum dipenuhi. Ini seperti pernah dilakukan Perdana Menteri Iran Mossadegh yang pernah menasionalisasi perusahaan minyak Anglo-Iranian pada masanya berkuasa[18]. Memang betul bahwa tindakan penghentian kontrak karya ditengah jalan memungkinkan dibawanya negara ke arbitrase internasional[19]. Namun demikian, hak ini dibatasi hanya untuk menentukan batas kompensasi yang wajar yang diakibatkan oleh “nasionalisasi atau pengambilalihan total dari hak kepemilikan perusahaan modal asing”. Pasal ini dengan demikian hanya relevan pada kasus-kasus dimana terjadi pengambilalihan investasi seluruhnya dan secara langsung oleh negara, misalnya ketika pemerintahan mengambil alih operasi perusahaan modal asing dan menjadikannya milik negara.

Kalaupun harus menghadapi semacam pengadilan internasional akibat pemutusan sepihak atau pelanggaran terhadap kontrak oleh negara, pemerintahan kita dengan dukungan rakyat harus berani menanggungnya. Ini mirip seperti apa yang diungkapkan Menteri Urusan Minyak Venezuela Ramirez soal kesiapannya menghadapi konfrontasi dengan maskapai-maskapai asing yang mereka sita ladang minyaknya, seperti TOTAL (Perancis) dan ENI (Italia). Ia mengatakan bahwa pemerintahnya “siap untuk pergi ke pengadilan di langit kalau mereka mau”, dan memperingatkan bahwa maskapai-maskapai asing yang terlibat dalam konfrontasi semacam itu tidak akan diikutsertakan dalam proyek-proyek yang akan datang di Venezuela yang mempunyai cadangan minyak sangat besar itu.

Metode yang ketiga adalah dengan menasionalisasi secara langsung tanpa adanya re-negoisasi kontrak ataupun kompensasi. Situasi-situasi yang revolusioner dari massa rakyat sangat menunjang untuk pelaksanaan metode ini. Contoh yang paling bagus adalah seperti dalam kasus Kuba. Setahun setelah Revolusi Kuba 1959, pemerintah Fidel Castro menasionalisasi kilang-kilang minyak AS, Texaco dan Exxon, serta Shell milik Belanda, juga menasionalisasi seluruh industri pokok—termasuk 382 perusahaan dalam negeri—sektor perbankan swasta asing dan dalam negeri. Upaya yang mirip juga pernah terjadi di Indonesia pada zaman pemerintahan Sukarno saat suhu perpolitikan tanah air sedang panas sekali di penghujung tahun 50-an. Himbauan langsung dari Sukarno untuk menasionalisasi seluruh aset Belanda[20] yang ada di Indonesia disambut dengan meluasnya aksi-aksi rakyat buruh-tani yang terorganisir di bawah PKI di banyak daerah. Tetapi sangat disayangkan aksi-aksi rakyat tersebut begitu mudahnya dikooptasi oleh kelompok militer reaksioner. Seluruh perusahaan yang telah berhasil dinasionalisasi kekuatan buruh-tani diserahkan semerta-merta kepada militer[21]

Kegagalan masa lalu harus menjadi pelajaran untuk gerakan rakyat ke depannya. Setelah disajikan beberapa pilihan langkah untuk menasionalisasi, rakyat lah yang akan menentukan metode seperti apa yang digunakan sesuai dengan kondisi objektif yang berlaku dan yang paling memungkinkan. Program ini haruslah diyakini rakyat karena banyak sekali hal baik yang bisa dicapai untuk bangsa dengan melaksanakannya. Contoh lainnya yang bisa mewakili keuntungan dari nasionalisasi adalah Rusia. Dari usaha nasionalisasi, Rusia telah mengambil alih perusahaan-perusahan swasta di antaranya pertambangan milik Yukos, perusahaan swasta perminyakan raksasa. Hasilnya adalah Rusia berhasil meraih pendapatan ratusan miliar dolar AS dari ekspor migas. Sehingga anggaran belanja negara mencatat surplus sebesar 56 miliar dollar AS. Rusia juga bisa memiliki cadangan devisa sebesar 277 miliar dollar AS, ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan Jepang. Jika berhasil menasionalisasi sektor migas saja, Indonesia akan menguasai mutlak minimalnya[22] delapan milyar barrel cadangan minyak mentah Indonesia[23] (produksi tahunan minyak mentah kita sekitar satu jutaan barrel) yang dengan asumsi harga minyak internasional 60 dollar AS per barrelnya akan bisa menyumbang cadangan devisa kita sebesar 480an milyar dollar AS.

Jeratan Hutang Najis

Hutang merupakan instrumen utama yang digunakan imperialis untuk mempertahankan akses bahan baku murah di negara lain, terutama negara-negara berkembang[24]. Untuk menutupi hutangnya kepada negara-negara maju, negara-negara berkembang tersebut saling berlomba memacu ekspornya ke negara- negara maju. Akibatnya terjadi kejenuhan pasar, sehingga harga komoditas tersebut semakin tertekan yang berdampak pada penurunan pendapatan produsen (misalnya, petani) di negara berkembang. Sementara negara-negara maju yang terletak di belahan utara menikmati surplus dan produk harga murah dari negara berkembang. Seperti itulah nasib tesis penganjur-penganjur ekonomi pasar bebas itu.

Negara-negara yang telah meminjam uang (kreditor) dari badan-badan keuangan internasional yang merupakan perlambang persatuan jahat kapitalis-kapitalis Internasional (debitor), justru terjebak dalam utang (debt trap). Kapital yang dimiliki harus lari ke tangan korporasi Internasional, dan capital flight ini akan semakin besar seiring menguatnya mata uang Dollar Amerika[25]. Bahkan jika dikumulatifkan jumlah seluruh pembayaran cicilan utang yang dimiliki negara debitor sudah jauh lebih besar dari jumlah yang dipinjamkan itu sendiri, seperti yang terjadi di Indonesia, Meksiko, Argentina. Rakyat di negara-negara debitor tersebut terpaksa merasakan pahitnya kemiskinan, kebodohan dan penyakit, karena manajemen anggaran pemerintah lebih ditekankan kepada pembayaran utang luar negeri bukannya subsidi sosial. Di negara-negara seperti Tanzania, Zambia, Mozambique, Honduras dan Nicaragua, pembayaran hutang menyerap lebih dari seperlima dari total penerimaan pemerintah, sehingga menekan jumlah yang dibelanjakan untuk program sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Di tahun 1997 terjadi kesenjangan sangat besar, yaitu cadangan devisa Indonesia sebesar 16,587 miliar dollar AS, yang jauh lebih kecil daripada total kewajiban sebesar 39,197 miliar dollar AS.

Rasionalitas tuntutan untuk penghapusan hutang pada dasarnya terletak pada semakin besarnya angsuran pokok dan bunga hutang yang harus dibayar oleh Indonesia[26]. Sementara kemampuan mereka untuk membayarnya, dari sisi anggaran atau cadangan devisa, cenderung semakin terbatas. Akibatnya, di tengah-tengah kesenjangan ekonomi yang semakin menganga secara internasional, negara-negara dunia ketiga cenderung semakin terjepit antara melayani kepentingan modal internasional atau memenuhi kewajiban mereka kepada rakyatnya masing-masing. Kenyataan tersebut diperparah oleh sejumlah fakta lain seperti: (a) keterlibatan negara-negara kreditor dalam memompa pemberian utang, termasuk dengan cara-cara manipulatif; (b) pembuatan utang oleh sebuah rezim diktator dan korup, yaitu yang bermuara pada lahirnya konsep hutang najis (odious debt); dan (c) dialaminya krisis ekonomi oleh negara-negara kapitalis pinggiran tersebut.

Permasalahan hutang najis[27] sudah dialami Indonesia sejak memperoleh pengakuan kedaulatan dari masyarakat internasional. Sebagaimana diketahui, saat itu pihak Republik menyetujui salah satu isi kesepakatan KMB tentang pelimpahan utang luar negeri Hindia Belanda kepada kepada Republik Indonesia. Hutang najis berikutnya adalah tentang utang luar negeri rezim Soeharto selama puluhan tahun. Bank Dunia bahkan sudah mengakui secara terbuka bahwa sekitar 30 persen utang luar negeri orde baru tidak sampai ke tangan rakyat Indonesia. Pembangunan ekonomi zaman orde baru yang sangat jauh dari efisiensi dan orientasi kerakyatan menyisakan puluhan juta rakyat miskin dan pengangguran. Untuk itulah pemerintahan dengan dukungan mayoritas rakyat (yang miskin dan menganggur) sangatlah berhak untuk menghapuskan hutang luar negeri Indonesia. Pencadangan dana yang seharusnya dibayarkan dalam bentuk hutang ini akan diabdikan untuk mendanai pembangunan industri nasional ke depannya yang berbasiskan pemenuhan program mendesak rakyat seperti pendidikan dan kesehatan gratis.

Pembebasan dari Jeratan Hutang

Hutang luar negeri haruslah dihapuskan demi pendanaan program-program mendesak rakyat. Langkah-langkah yang bisa diambil untuk pembebasan dari jeratan hutang adalah: Penghapusan hutang (Write Off), Peringanan pokok hutang dan bunga (Debt Relief), Penundaaan pembayaran hutang (Debt Moratorium), Konversi hutang (Debt Swap), dan Pembebasan hutang najis (Hair Cut Debt). Di bawah ini akan dibahas satu persatu alternatif langkah berikut relevansinya,

Program penghapusan utang (write off) terhadap negara-negara dunia ketiga seperti disebutkan diatas sudah dikampanyekan oleh gerakan-gerakan sosial. Dalam kancah Internasional World Sosial Forum (WSF) yang di dominasi oleh gerakan-gerakan sosial (Social Movement) juga telah mengkampanyekan program penghapusan utang terhadap negara-negara miskin. Ada point mendasar dalam konsepsi tersebut. Dalam berbagai perdebatan penolakan terhadap utang baru pasca penghapusan utang (write off) menurut hemat saya sesungguhnya tidak menguntungkan. Beberapa pembenaran (moralis) menyebutkan jika menerima kembali utang baru post write off (pasca penghapusan utang) itu sama saja tidak memiliki harga diri sebagai sebuah bangsa. Menurut saya itu keliru. Di Argentina setelah penghapusan utang luar negeri, para kreditor-kreditor swasta dari negara-negara Induk justru tetap meminjamkan uangnya, bahkan memburu obligasi negara yang ditawarkan. Sebab memang mereka (Kreditor dan Investor) membutuhkan pasar dan tenaga produktif untuk menggerakkan modal yang mereka miliki agar berlipatganda. Di negara Sosialis sekaliber Cuba, yang menjadi salah satu pelopor penolakan penghapusan utang terhadap negara-negara dunia ketiga, tetap membutuhkan pinjaman luar negeri untuk kebutuhan-kebutuhan perkembangan ekonomi mereka. Padahal di Cuba tingkat pendidikan dan kesehatan sama dengan negara-negara Induk di Eropa maupun Amerika.

Secara prinsipil, sesungguhnya utang akan menjadi Fisher Paradox ketika pemerintahan negara debitor tersebut membebek kepada seluruh kebijakan-kebijakan ekonomi politik badan-badan keuangan Internasional dan berbagai kreditor-kreditor lainnya. Dan membuat praktek Neoliberalisme dijalankan, diturunkan dalam berbagai perundang-undangan pendukung seluruh kebijakan Structural Adjustment Programme (SAP). Sehingga manajemen anggaran negara ditekankan pada pembayaran utang luar negeri, belanja militer, bukan untuk meningkatkan kualitas tenaga produktif sebagai Kapital Sosial yang tak tergantikan melalui besarnya anggaran Subsidi Sosial. Justru yang dilakukan oleh pemerintahan yang berkarakter neoliberalis berkebalikan dari konsep tersebut. Penolakan terhadap utang baru pasca penghapusan utang malah berakibat buruk bagi pertumbuhan Industri dan perkembangan ekonomi. Dalam kepentingan menstimulus perkembangan Industrialisasi Nasional itulah kepentingan utang ditekankan, yang jelas berkarakter kerakyatan tentunya. Tetapi segala lagi, program Write off , dan mau menerima utang baru hanya dapat dilaksanakan apababila Pemerintahaan tersebut memiliki kekuasaan politik dan karakter yang demokratis, merdeka dan merakyat. Jika tidak akan sama saja dengan pemerintahan Soeharto maupun setelahnya.

Sejauh ini, program penghapusan utang luar negeri (write off) masih tepat. Akan tetapi pemerintahan sekarang ini maupun sebelum-sebelumnya bukanlah pemerintahan Popular (Berkarakter Kerakyatan), bukanlah pemerintahan yang memiliki kewibaan politik serta keberanian politik demi kepentingan rakyatnya. Pemerintahan ini dan sebelum-sebelumnya, hanyalah pemerintahan Makelar (calo) bagi kreditor-kreditor itu. Sama sekali tidak punya karakter. Maka program penghapusan utang hanya sekedarnya ditangkap oleh pemerintah dan tidak secara sungguh-sungguh diperjuangkan. Walhasil, sama sekali belum tercapai program sejati tersebut. Pembenaran pemerintah dan beberapa ekonom penganjurnya selalu dengan kalimat, bahwa itu (penghapusan utang) dilaksanakan membuat negara kita tidak punya wibawa, tidak punya harga diri, tukang ngemplang, negara kita akan dijauhi para Investor. Di Massa rakyat sendiri, pandangan-pandangan tersebut muncul dan menular.

Kesulitan-kesulitan program ini terletak pada hal tersebut. Akan tetapi, ini tidak berarti program ini salah. Program ini masih merupakan program yang Paling Tepat. Akan tetapi harus dicari program lainnya, yang memiliki kandungan metode, agar secara umum pandangan –pandangan yang keliru bisa secara sistematis bergeser pada pandangan yang sejati.

Debt relief atau penghapusan sebagian utang luar negeri dari pengampunan (penghapusan ) sebagian utang pokok yang berakibat pada penghapusan sebagian bunga utang. Ketika terjadinya musibah Tsunami, di Sumatera dan Aceh, beberapa ekonom sudah mendesak agar pemerintah Indonesia untuk meminta Debt Relief dan tidak hanya debt moratorium. Program Debt relief sempat dikampanyekan oleh INFID. Sebagai sebuah program penghapusan utang masih sangat sedikit yang mengkampanyekannya. Pada momentum Tsunami, meski coba diangkat oleb beberapa Ngo akan tetapi yang menguat justru moratorium utang. Selain problem perbedaan skema tersebut, meski tepat debt relief diambil sebagai program akan tetapi segi-segi kelemahannya terletak pada belum dimulainya (dalam makna luas dan besar) debt relief tersebut sebagai sebuah program gerakan penghapusan utang.

Pasca Tsunami berbagai intelektual, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi-Organisasi massa sesungguhnya mendesak adanya penghapusan utang kepada pemerintah. Agar pemerintah secara serius dalam arbitrase bilateral maupun multilateral berjuangan untuk mendapatkan keringanan utang tersebut. Sebab terdapat undang-undang yang menyebutkan jika ada negara debitor yang mengalami musibah maka harus diberikan peringanan utang (debt relief). Tetapi ini justru tidak secara serius diperjuangkan oleh pemerintah. Justru yang diperjuangkan oleh pemerintah adalah moratorium utang. Padahal Srilangka dengan jumlah korban Tsunami lebih sedikit ketimbang Indonesia, justru mendapatkan debt relief. Bukannya perjuangan untuk menghapuskan utang pemerintah atau minimal (meski saya kurang setuju) memperjuangkan moratorium yang lebih besar dari Rp. 3,9 Triliun[28] yang dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi pemerintah meminta pinjaman utang luar negeri yang baru. Padahal dalam situasi tersebut pemerintah tiba pada posisi mudah untuk mendapatkan peringanan utang.

Moratorium utang (debt moratorium) merupakan peringanan utang dengan penundaan pembayaran utang pokok dan bunga dalam jangka waktu tertentu yang disepakati antara kreditor dan debitor itu sendiri. Tercatat negara-negara yang secara terbuka mendukung moratorium untuk Indonesia adalah Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Perancis. Tetapi ini tidaklah menguntungkan sebab selama pemerintahan yang ada menerapkan konsep ekonomi yang pro neoliberalisme. Moratorium hanyalah “mesin pembunuh” yang akan siap menghancurkan ekonomi ketika tibanya masa pembayaran utang. Dalam kata lain, memindahkan kotoran yang sama ke masa yang akan datang, dan membiarkannya menumpuk dan menjadi penyakit.

Bank Dunia dan IMF serta badan-badan keuangan internasional lainnya sesungguhnya sadar bahwa negara-negara debitor berada dalam jebakan utang (debt trap). Agar perlawanan-perlawanan tersebut tidak meluas, dan menyadarkan rakyat di negara-negara dunia ketiga bahwa sumber kemiskinan mereka adalah kebijakan politik utang pemerintahannya yang “membebek” pada kepentingan kreditor negara-negara Induk. Maka, utang luar negeri yang melimpah itu dengan berlagak humanis di konversikan dengan berbagai aktifitas/program yang disepakati diantara negara kreditor dan debitor itu sendiri. Bentuk Konversi utang (Debt Swap) yang diterapkan Paris Club III terdiri dari enam skema antara lain: debt swap for development (untuk lingkungan dan pendidikan seperti diterapkan pemerintah Jerman), debt to equity swap, debt to repayment against export delivery, debt swap to privatization, debt swap for FDI, dan debt to project investment swap. Berdasarkan Perjanjian Paris Club II (2002) maupun Paris Club III debt swap ini digunakan untuk pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, pelestarian lingkungan, menciptakan lapangan kerja, investasi dll. Dan pada umumnya, pembayaran dilakukan dengan mata uang lokal.

Ini semua hanyalah kebohongan-kebohongan belaka. Debt Swap (Konversi Utang) hanyalah istilah lain dari debt trap. Bagaimana mungkin akan ada penanggulangan kemiskinan, penyelamatan hutan, bahkan pembangunan manusia dalam tahun millenium ini. Jika Manajemen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara justru diprioritaskan untuk pembayaran utang luar negeri dan dalam negeri (Domestic debt). Bukankah ini artinya debt sustainabilty, membuat negara-negara debitor terus dan terus membayar utang mereka. Bukankah sustainable yang dimaksud IF ialah, terus berlanjut dan berlanjut dalam membayar utang hingga semua yang kalian (negara dan rakyat) miliki habis terjual ke tangan kami para kreditor-kreditor, sedangkan kalian nikmatilah kemiskinan itu. Dan bagimana mungkin debt swap akan mensejahterakan, jika bukan itu pokok permasalahannya. Pokok permasalahannya adalah mengprioritaskan anggaran negara untuk membangun industri dalam negeri baik infrastrukturnya maupun suprastrukturnya melalui pemberian sebesar-besarnya subsidi sosial. Point yang keliru justru diperlihatkan dengan kesesatan berpikir dimana anggaran negara dipakai untuk menanggulangi, bukannya mencegah kemiskinan, kebodohan, penyakit dan pengrusakan hutan. Apalagi pemerintahan saat ini tidak memiliki karakter bersih dan ekologis, sebab debts swap hanya akan menguntungkan oknum-oknum yang melakukan praktik-praktik korupsi (Inefisensi)., penyelundupan, penebangan liar (illegal logging). Begitupun juga semua kebijakan Washington konsesus, tidak akan ada kesejahteraan, jika ternyata industri dalam negeri harus hancur dengan adanya liberalisasi perdagangan yang berkonsekuensi kehancuran perusahaan-perusahaan domestik serta PHK massal serta krisis agraria, liberalisasi keuangan yang berkonsekuensi terjadinya capital flight.

Justru sangat menggelikan ketika Pemerintahan Indonesia dengan Pemerintah Inggris bersepakat untuk melaksanakan debt to transportation swap yang dikategorikan debt to project investment swap untuk mempercepat pelunasan utang. Dalam kesepepakatannya pihak pengguna, yakni Perum Damri (akan mendapat 700 unit bus) dan Perum PPD (kebagian 300 unit bus) menghendaki agar bus yang digunakan adalah Mercedes-Benz buatan DaimlerChrysler. Penggunaaan Mercedes-Benz ini dengan alasan (sok ekologis) yaitu harus sesuai dengan standar kadar emisi Euro II, yang lebih ramah lingkungan. Bukankah ini harus dibeli dengan dollar dan merugikan prioritas anggaran negara dan mengakibatkan terjadinya capital flight juga.

Semua kebijakan yang berlagak sok “humanis” itu hanya memperdalam jebakan kemiskinan. Data dari organisasi buruh internasional (ILO), pada saat ini separuh dari pekerja di dunia, 1,4 milyar hidup kurang dari sebesar 2 dollar perhari. Jumlah orang yang kelaparan pun mengalami peningkatan 18 juta menjadi 852 juta total dari keseluruhan, termasuk 815 juta di negara berkembang; 28 juta di negara-negara yang sedang mengalami transisi, dan 9 juta di negara-negara industri maju (Laporan FAO).[29] Sebab secara esensial pembangunan manusia atau pencapaian kesejahteraan hanya akan terwujud bilamana anggaran negara tersebut sebesar-besarnya diperuntukkan bagi peningkatan kualitas tenaga produktif dan penciptaan lapangan pekerjaan serta memperahankan Industri Nasional tersebut untuk terus hidup dan berkembang. Disitulah esensinya, yang justru tak pernah dipahami pemerintah, malah terus keyakini kekeliruan-kekeliruan washington konsensus. Ekonom Joseph E. Stiglitz menegaskan implementasi Washington Consensus, yang melahirkan tonggak privatisasi, liberalisasi, dan pengetatan anggaran justru menguntungkan sekelompok koruptor di negara berkembang[30].

Dari berbagai pandangan yang muncul Herkat Utang bisa diperluas berdasarkan beberapa hal, yang sudah mengemuka antara lain:

1) Pembebasan utang atas utang najis. Utang najis (Oudious Debt) yang dimaksud disini adalah seluruh pinjaman luar negeri selama masa pemerintahan Soeharto. Landasan moralnya, diletakkan pada aspek tidak legitimasinya pemerintahan Soeharto. Sebab selama 32 tahun pemerintahan Soeharto berkuasa, bukan lahir dari pemilihan umum yang demokratis dan bersih atau dalam kata lain bukan hasil dari proses pemilihan langsung Presiden. Tapi hasil kongkalikong antara Soeharto dan kroni-kroninya di DP pada saat sidang MPR berlangsung. Sehingga dalam kata lain utang yang diminta serta digunakan oleh Soeharto beserta kroninya bukanlha utang yang legitimate (ilegitimate debt). Bank Dunia menyebutkan total pinjaman yang diberikan kepada Soeharto sejak tahun 1966 hingga tahun 1998 sebesar $30 Miliar Amerika. Saat ini Utang kita sebesar US$ 190 miliar (dengan rincian: utang luar negeri pemerintah US$ 78,7 miliar, utang luar negeri BUMN US$ 4,8 miliar, utang luar negeri swasta US$ 45,5 miliar, dan utang pemerintah di dalam negeri setara US$ 60 miliar).

2) Ada pula pandangan yang menitikberatkan pada pembebasan utang (Hair Cut Debt) hanya pada oudios debt pemerintah Soeharto. Dimana menurut Bank Dunia dan juga Soemitro 30% dari utang luar negeri pada massa Soeharto telah dikorupsi untuk kepentingan Soeharto beserta kroni-kroninya. Tetapi bagaimana kesimpulan 30% utang luar negeri itu dikorupsi, tidak ada penghitungan atau penjabaran yang jelas dan kongkret. Jika kita berpikir bahwa elemen dari pendukung Soeharto itu saja menyatakan demikian. Maka jelas kenyataan kongkretnya mungkin jauh lebih besar dari 30%. Mungkin 40% atau bahkan lebih. Jika dikumulatifkan maka utang yang dikorupsi oleh Soeharto sebanyak $9 Miliar (dengan dasar data World Bank, persentase korupsi sebesar 30% ). Jika kita memakai asumsi bahwa total yang dikorupsi oleh Soeharto dan kroninya sebesar 40% maka jumlah utang najis yang harus dihapuskan sebesar $12 Miliar. Jeffrey Winters menyebutkna hingga krisis ekonomi 1997, hutang Indonesia yang layak disebut odious debt sedikitnya US$30 miliar, dimana US$10 miliar dari Bank Dunia, sisanya dari ADB, serta lembaga multilateral dan bilateral lainnya.

3) Pandangan lain menyebutkan bahwa pembebasan utang najis tidak hanya atas utang yang dikorupsi pada masa Soeharto saja. Tetapi juga atas utang luar negeri yang dikorupsi pada masa pemerintahan selanjutnya, yakni Habibie, Gusdur, Megawati, dan SBY-Kalla. Ada atau tidak dan berapa jumlah korupsi atas utang luar negeri ketika mereka berkuasa memang harus diteliti lebih dalam. Sebab belum banyak data yang kongkret memberikan secara pasti berapa jumlah penggelapan uang dari penjaman luar negeri tersebut selama mereka berkuasa. Dan juga pada pandangan ini ditambahkan bahwa Oudious Debt termasuk penyalahgunaan dana Kredit Ekspor (KE) yang ditekankan pada anggaran militer. Berbagai Informasi menyebutkan Indonesia meminjam sekitar 1,76 milyar Dollar Amerika dari pemerintah Inggris. Dimana Indonesia melakukan pinjaman Kredit Ekspor (KE) melalui Departemen Penjamin Kredit Ekspor Inggris (EGCD). EGCD menjamin semua kontrak Indonesia dengan perusahaan-perusahaan swasta. Pinjaman KE kepda Inggris ini dipergunakan untuk membeli pesawat tempur Hawks (£382,7 juta) dan kendaraan lapis baja Scorpion dan Stormer (£80,7 juta). Keseluruhan pinjaman untuk persenjataan ini dipergunakan sepenuh-penuhnya untuk memperkuat struktur militer. Kalau ditetapkan berdasarkan penghitungan ini maka total pembebasan utang yang akan didapatkan lebih dari $40 Miliar ( Total utang Soeharto, pembayaran bunga utang Soeharto, Korupsi utang luar negeri pada pemerintahan pasca Soeharto (?), Kredit Ekspor untuk persenjataan)

Pemerintahan Argentina mendapatkan 75% penghapusan utang (debt relief) dari partisipan kreditornya. Padahal Argentina menolak untuk bekerjasama dengan IFI. Dan hebatnya, di pengadilan internasional Argentina yang dikenai Sanksi uang karena menolak membayar utang luar negerinya, tetapi mereka secara tegas menolak membayar sanksi tersebut. Inilah contoh keberanian politik sebuah pemerintahan, yang tidak pernah ditiru oleh pemerintahan SBY-Kalla. Satu hal lagi yang patut dcatat, setelah debt relief dan penolakan kerjasama dengan IFI, Argentina tetap mendapatkan pinjaman dari kreditor, dan Investasi tetap berjalan. Ini menepis keraguan-raguan ekonom yang menghendaki adanya peningkatan kesejahteraan yang baik untuk negara debitor tetapi lemah iman keberpihakannya pada rakyat negara tersebut yang terjebak utang.

Pengalaman Nigeria[31] juga tidak pernah dicontoh oleh pemerintahan Indonesia. Nigeria dengan lobby Internasional yang baik, dan segala upaya-upaya arbitrase bilateral dan multilateral yang konsisten. Akhirnya bisa mendapatkan debt relief sebesar $18 Miliar lebih besar Kongo, $10 Miliar, atau 60% dari utang yang ada. Meski hal itu bisa dibilang masih sedikit sebab Nigeria bisa mendapatkan lebih besar dari itu, jika Nigerai mampu memainkan politik Internasional yang lebih keras. Sebab bagaimanaupun juga Inggris sebagai kreditor terbesar bagi Nigeria tidak mau kehilangan “emas hitam” Afrika tersebut, terlebih dengan kandungan minyak di Negria yang yang sangat besar. Dan jangan pernah dilupakan kontribusi terpenting aksi massa buruh dan rakyat lainnya di Ngeria dengan jumlah ratusan ribu menolak Privatisasi minyak. Inggris tidak akan bersikeras membantu dan memberikan debt relief tanpa adanya aksi massa tersebut.

Hair Cut merupakan pilihan yang paling bisa (harus) ditawarkan saat ini. Hal itu semakin kongkret dengan beberapa landasan:

1) Oudious debt, Iligitimate debt, Criminal debt sesungguhnya sudah diyakini oleh seluruh negara-negara bahkan oleh lembaga-lembaga keuangan Internasional. World Bank dalam article on agreement juga sudah menyebutkan hal itu. Sehingga Hair cut atas Oudious debt, Iligitimate debt, Criminal debt sesungguhnya memiliki nilai kebenaran umum, atau kelegalan umum.

2) Pemerintah harus (terpaksa) bersedia untuk mendesakkan adanya hair cut atas Oudious debt tersebut. Sebab itu memiliki kebenaran yang juga diakui oleh dunia Internasional. Jika tidak maka Pemerintah semakin tidak memiliki legitimasi untuk berkuasa. Dan rakyat akan tiba pada kesimpulan, masih adakah pemerintah? Lebih baik pemerintah diganti saja?

3) Ini juga merupakan sebuah program (berkarakter taktik) agar para ekonom-ekonom keblinger di Indonesia yang selalu memberikan solusi-solusi yang katanya rasional padahal sesungguhnya justru melanggengkan jebakan utang. Sehingga mengakui dan mau bertindak bersama-sama untuk mengkampanyekan dan menuntut kebenaran Hair Cut.

4) Selain juga menjadi batu loncatan atau pintu masuk untuk menjelaskan ketepatan-ketepatan program utama penghapusan utang luar negeri (write off).

Seluruh program –program ini hanya bisa dijalankan jika pemerintah yang ada bersedia untuk memakai kekuasaan politiknya demi kepentingan pengurangan kemiskinan (yang sesungguhnya) dan juga pembangunan manusia (yang sejatinya). Maka karakter pemerintahan yang dapat melaksanakan ini hanyalah pemerintahan dengan karakter Kerakyatan, Bersih dan juga Merdeka dari intervensi IFI dan Mafia Barkeley’s.

Membangun Tenaga Produktif untuk Industrialisasi Nasional

“ Soal kapital menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi di Indonesia. Rakyat sendiri tidak mempunyai kapital. Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk mencapai kemakmuran rakyat, perkataan-perkataan ‘kemakmuran untuk rakyat’ mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau dari pihak pemerintah. Karena, kalau kapital harus didatangkan dari luar, tampuk produksi terpegang oleh orang luaran. Pedoman bagi mereka artinya bagi penanam modal asing untuk melekatkan kapital mereka di Indonesia ialah keuntungan. Keuntungan yang diharapkannya mestilah lebih daripada yang biasa, barulah berani mereka melekatkan kapitalnya itu. Supaya keuntungan itu dapat tertanggung, maka dikehendakinya supaya dipilih macam industri yang bakal diadakan, dan jumlahnya tidak boleh banyak. Berhubung dnegan keadaan industri, agraria dan tambang yang paling menarik hati kaum kapitalis asing itu. Dan dengan jalan itu tidak tercapai industrialisasi bagi Indonesia, melainkan hanya mengadakan pabrik-pabrik baru menurut keperluan kapitalis luar negeri itu saja. Sebab itu, industrialisasi dengan kapital asing tidak dapat diharapkan.”

Dr. Hatta, dalam karangannya “Soal Industrialisasi Nasional

Pada tahun 2005, United Nation Industrial Development Organisation (UNIDO) menempatkan Indonesia dalam peringkat industrialisasi terbawah diantara negara-negara ASEAN[32]. Menurut mereka, lemahnya sektor ini disebabkan oleh daya saing yang lemah dan minimnya upaya (dana) untuk riset dan pengembangan. Dari uraian-uraian sebelumnya tentang program nasionalisasi industri pertambangan dan penghapusan hutang, pasti kemudian akan muncul pertanyaan: akan dike manakan pencadangan modal sebesar itu? Jawabannya adalah dipergunakan sebesar-besarnya untuk memajukan tenaga produktif rakyat. Prinsip yang harus dipegang adalah arah dari kebijakan ekonomi yang harus ditempuh adalah yang sanggup memberi jalan keluar terhadap keterbelakangan tenaga produktif nasional; bersifat massal untuk mengatasi ledakan pengangguran akibat kebijakan neoliberal; mampu memberi jalan keluar penyelamatan industri dalam negeri yang saat ini sekarat dan mengalami kebangkrutan masaal; serta yang pengelolaan, tujuan, dan hasil-hasilnya dibadikan untuk kepentingan mayoritas rakyat dan bukan segelintir elit kapitalis asing dan kapitalis dalam negeri yang menjadi kroninya yang serakah seperti yang selama ini terjadi. Singkatnya arah dari perspektif ekonomi masa depan adalah meletakan dasar-dasar dan syarat-sarat ekonomi dan sosial bagi program industrialisasi nasional yang berhasil agar tercipta landasan ekonomi nasional yang modern dan kokoh dan sanggup membuka lapangan kerja secara massal. Untuk itulah kenapa menjadi sangat penting untuk membangun industri (baja, mesin terutama mesin untuk modernisasi pertanian, farmasi, petrokimia, otomotif, telekomunikasi, serat optik dsb), juga penguasaan nasional terhadap seluruh industri nasional, sehingga tercipta lapangan kerja secara luas. Sementara program pendidikan (dari TK hingga perguruan tinggi) dan kesehatan gratis (dari biaya rawat inap, konsultasi medis, dan obat-obatannya) dibutuhkan untuk mencetak sumber daya kapital, sumber daya manusia yang terus meningkat kemampuan dan kualitasnya. Industri dalam negeri yang sudah ada, yang saat ini terancam kebangkrutan massal juga harus diselamatkan, karena jika tidak barisanb penagngguran akan bertambah panjang.

Industrialisasi tidak hanya dimaksudkan agar kontribusi sektor industri dalam pendapatan nasional makin meningkat, tetapi harus dilaksanakan dengan tujuan-tujuan yang lebih luas cakupannya, khususnya agar tingkat kesejahteraan masyarakatnya makin membaik dan makin merata. Oleh karena itu, persoalanpersoalan sosial dalam kehidupan masyarakat yang nampak lambat perkembangan penanggulangannya pelu dijadikan pertimbangan penting di dalam memilih strategi pelaksanaan industrialisasi. BPS menyebutkan bahwa pada bulan Februari 2006 tingkat pengangguran terbuka mencapai 10,4% dari jumlah angkatan kerja atau sekitar 11 juta orang. Mungkin kita akan sedikit berlega hati, dari sepuluh orang Indonesia, sembilan orang memiliki pekerjaan. Tentu tidaklah semudah itu penalarannya. Nyatanya BPS juga memiliki data bahwa dari seratusan juta angkatan kerja kita, 60,6 juta orang bekerja pada sektor informal[33]. Besarnya sektor informal merupakan konsekuensi logis lemahnya perindustrian di tanah air. Mungkin gambarannya sekarang akan menjadi: dari sepuluh orang Indonesia (angkatan kerja), satu orang menganggur, enam orang bekerja tanpa kepastian, sisanya bekerja normal. Pun perlu digaris bawahi, orang yang ‘bekerja normal’ sebagian besar saat ini sangat rentan kondisinya di bawah penerapan UU No.13/2003 ataupun revisinya (jika yang terakhir ini akhirnya disahkan). Dari data-data yang telah disebutkan, setidaknya kita telah memiliki satu pijakan untuk merealisasikan industrialisasi nasional: potensi sumber daya manusia yang melimpah[34]. Tetapi harus menjadi catatan adalah bahwa tenaga kerja kita masih sangat lemah produktivitasnya.

Lemahnya tenaga produktif dapat digambarkan dari banyaknya pengangguran dan pekerja sektor informal di suatu negara. Padahal menurut hukum ekonomi politik, produksi adalah basis kehidupan dan perkembangan masyarakat. Dan faktor yang paling menentukan dalam semua aktivitas produksi adalah manusia itu sendiri, tenaga kerjanya (baca: tenaga produktif). Maka pertanyaannya adalah: apa yang membentuk tenaga produktif? Atau dengan kata lain, syarat-syarat apa saja yang menjadikan seseorang produktif? Untuk bisa menjadi produktif, kebutuhan primer (dasar) dan sekunder (penunjang) warganya haruslah dipenuhi secara mutlak oleh negara. Kebutuhan primer manusia mencakup sandang (pakaian), pangan (makanan dan minuman), dan papan (tempat tinggal atau perumahan). Sedangkan kebutuhan sekunder mencakup pendidikan, kesehatan, rekreasi dan olahraga. Fakta bahwa negara sangat sedikit campur tangannya dalam pemenuhan kedua hal di atas bagi warganya, dengan malah melemparnya ke mekanisme pasar, membuat dampak-dampak seperti kemiskinan dan lemahnya tenaga produktif menjadi sangat logis. Lemahnya akses masyarakat kepada pemenuhan syarat-syarat produktivitas mereka akbat kemiskinan, akan menciptakan kemiskinan-kemiskinan yang baru pula. Fenomena itu bagai sebuah lingkaran setan. Satu-satunya jalan untuk memutus rantai lingkaran itu adalah: negara harus melakukan intervensi untuk membuka seluas-luasnya akses mayarakat dalam pemenuhan syarat-syarat tenaga produktif mereka. Akses rakyat terhadap makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan rekreasi haruslah dibuka seluas-luasnya. Kesemuanya haruslah mendapat perlindungan (subsidi) dari pemerintah. Pada tahapan awal haruslah ada yang digratiskan seperti pendidikan dan kesehatan sebagai pemacu awal.

Basis kekayaan alam (bahan mentah) untuk Industrialisasi Nasional

Pijakan lainnya terletak pada kekayaan asli tanah Nusantara. Kita harus tahu secara pasti tentang betapa kayanya negara kita- yang menjadi sangat kontradiktif dengan kemiskinan yang menimpa mayoritas rakyat. Negara kita yang merupakan negara tropik berposisi geografik strategis, menempati kawasan yang sangat luas[35] dengan banyaknya pulau-pulau[36] dan garis pantai terpanjang di dunia[37]. Luas daratan kita sekitar 191 juta hektar, sedangkan teritori laut sekitar 317 juta hektar[38]. Dari gambaran kondisi iklim dan luasnya wilayah, sangat bisa dibayangkan betapa kayanya negara ini. Kekayaan alam yang tidak terbarukan[39] tentu sudah banyak diketahui karena telah lama menjadi incaran kaum imperialis dan sebagian besarnya telah dikeruk. Tapi mari coba kita tengok kekayaan alam kita yang mampu diperbaharui (renewable), keaneka ragaman hayati Indonesia sangatlah dahsyat. Kekayaan hayati di daratan[40] tercatat menduduki peringkat no.2 di dunia dan jika di gabung dengan kekayaan laut (darat + laut), peringkat no. 1!

Tetapi janganlah lupa diri, kekayaan bahan mentah (hayati dan non-hayati) yang kita miliki harus dinaikkan ‘nilai tambah’-nya dengan suatu ‘proses produksi’. Gelondongan kayu akan lebih memiliki ‘nilai tambah’ jika sudah berwujud kursi atau meja. Dan bukankah sedari awalnya perkembangan umat manusia ditentukan oleh produksi barang/komoditi. Sedangkan proses nilai tambah itu sendiri merupakan proses kompleks yang berjalan terus rnenerus dan hanya dapat dikatakan berhasil jika pemanfaatan mesin-mesin, ketrampilan manusia, dan material sepenuhnya dapat diintegrasi oleh teknologi sehingga menghasilkan produk barang dan jasa yang bernilai lebih tinggi dari nilai material dan masukkan lainnya.

Strategi Industrialisasi Nasional

Dengan kedua pijakan tersebut, seharusnya sudah lengkap syarat-syarat untuk mewujudkan industrialisasi nasional. Tidak terhitung berapa banyaknya industri massal yang mampu kita bangun dari hilir ke hulu plus industri penunjangnya (jasa). Sekarang adalah mengenai strategi pembangunannya. Untuk bisa merumuskan strategi yang baik, haruslah dilihat potensi dan permasalahannya (kondisi industri yang sudah berjalan). Untuk potensi sudah cukup banyak dipaparkan, tinggal permasalahannya. Gambaran permasalahan dunia perindustrian kita adalah sebagai berikut:[41]

  1. Sektor pertanian cukup besar kontribusinya pada PDB, sekitar 18,5% dan sebagian besar tenaga kerja mendapatkan nafkah dari sektor ini, yaitu sekitar 54%. Akan tetapi disisi lain tingkat upah di sektor ini sangat rendah dibanding sektor industri, yaitu sekitar setengahnya.
  2. Produk sektor pertanian sebagian besar tidak diolah lanjut menjadi komoditas yang tinggi nilainya, baik untuk pasaran dalam negeri maupun untuk export, seperti beras, aci (tepung cassava), minyak goreng, crumb rubber, sheet, bungkil, teh, kopi, ikan, udang, kayu lapis, cengkeh, dan sebagainya. Penggunaan karet untuk dijadikan komoditas yang lebih tinggi nilainya masih terbatas pada ban mobil dan sejenisnya, belum mencakup konversi menjadi material konstruksi dengan sifat-sifat khusus ataupun komponen permesinan yang berkualitas tinggi. Ekstrak dari tumbuh-tumbuhan untuk bahan obatobatan, misalnya masih sangat terbatas dan pengolahan lanjut dari ekstrak semacam itu juga lebih terbatas lagi.
  3. Produk-produk sektor pertambangan juga belum diolah, atau sangat sedikit yang telah diolah menjadi komoditas-komoditas yang bernilai tinggi, seperti high performance steel, high performance ceramics, senyawa organo-metalik, monomer, synthetic polymers, dan sebagainya.
  4. Kemampuan produksi barang modal pada umumnya masih sangat terbatas pada struktur-struktur statik, seperti tangki, anjungan, tiang listrik, badan pesawat terbang, boilers, chassing, dan sejenisnya. Produksi rotary dan dynamic devices seperti turbin, kompressor, mesin-mesin perkakas (machinetools), dan sebagainya pada umumnya terbatas pada perakitan, atau belum dilaksanakan.
  5. Telah terakumulasi kemampuan teknologi untuk mengoperasikan sistemsistem yang komplex, seperti pembangkit listrik, pabrik pupuk, pabrik LNG, dan sejenisnya; juga dalam hal perakitan dan konstruksi berbagai jenis struktur, serta dalam melakukan system-design.
  6. Kemampuan dalam produksi barang-barang elektronik sangat terbatas pada pengoperasian sistem produksi komponen dan perakitan barang-barang konsumen. Kemampuan produksi barang elektronik untuk pemakaian profesional, seperti instrumen untuk pengukuran dan pengendalian otomatik, komputer, dan sejenisnya dapat dikatakan belum terjangkau.

Mempertimbangkan faktor-faktor yang dikemukakan diatas, maka strategi dasar yang digagaskan dalam upaya industrialisasi adalah melengkapi dan memperkuat, dan bila perlu memodifikasi pendekatan dan pelaksanaan industrialisasi yang kini berlangsung dengan memberi penekanan pada upaya:

  1. Memanfaatkan sebesar-besarnya kemampuan dan kekuatan yang telah dipunyai, dan yang selama ini telah menunjukkan ketahanan dan ketangguhan dalam menopang perkembangan ekonomi komoditas, yaitu sektor pertanian, dengan cara mengalokasikan upaya yang besar untuk menegakkan industri yang berbasis pada pemanfaatan produk-produk pertanian menjadi komoditas yang bernilai tambah tinggi dan dibutuhkan di dalam negeri serta mempunyai peluang yang baik di pasar internasional;
  2. Menegakkan berfungsinya industri teknologi, yang pada taraf mula ditekankan bagi berkembangnya industri pemroses hasil pertanian menjadi komoditas yang lebih canggih, sebagaimana dikemukakan di butir sebelumnya.

Untuk mewujudkan strategi dasar tersebut langkah-langkah yang harus dilaksanakan adalah:

- Mengenali dan menerapkan teknologi budi daya yang lebih produktif dan efisien di sektor pertanian, baik dalam budi daya tanaman, pengusahaan hutan, maupun dalam budi daya ternak dan perikanan;

- Meniadakan hambatan-hambatan institusional dalam perdagangan hasil-hasil sektor pertanian, khususnya yang menyangkut kebijaksanaan harga serta pengaturan tata-niaga, dan secara bersamaan membuka peluang pasar bagi produk-produk tersebut dengan memfungsikan industri proses pengolah hasil pertanian menjadi produk-produk yang lebih canggih, berpeluang pasar, dan berdaya saing;

- Mengerahkan sumberdaya IPTEK (dengan pendanaan yang mencukupi) untuk melakukan penelitian dan pengembangan yang mendukung pada terbentuknya preskripsi-preskripsi teknologis dalam berbudi daya, menggunakan teknik-teknik bio-teknologi, dan dalam memproses hasil budi daya menjadi komoditas-komoditas canggih;

- Mengalokasikan sumberdaya nasional untuk menumbuhkan industri peralatan proses (process equipment industries) dan mengembangkan keahlian-keahlian yang diperlukan untuk itu, baik dalam perancangan dan fabrikasi dan konstruksi peralatan proses, maupun di dalam melakukan proses-proses alih teknologi;

- Menegakkan industri teknologi, terutama yang memfokuskan perhatian dan upaya dalam penciptaan proses-proses pengolahan hasil-hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan(kelautan) dan menciptakan sistem-sistem pemroses (peralatan proses) untuk mengakomodasi pelaksanaan proses-proses yang dikembangkan tersebut. Secara ringkas, strategi dasar yang diturunkan dengan pendekatan analitis sebagaimana diuraikan terdahulu, pada dasarnya merumuskan langkah-langkah untuk memperkuat upaya yang tertuju pada pelaksanaan industrialisasi yang secara eksplisit merujuk kepada penekanan untuk menggunakan landasan kekuatan ekonomi yang telah tersedia, yaitu sektor-sektor yang telah disebutkan di atas[42].

Inti dari pendekatannya adalah meningkatkan keterkaitan sektor-sektor tersebut dengan sektor industri manufaktur, dan upaya yang dipilih untuk itu adalah:

• Meningkatkan permintaan agregat terhadap komoditas hasil sektor pertanian dan lainnya dengan mendorong pertumbuhan investasi di sektor manufaktur yang tertuju pada pengolahan hasil-hasil pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, dll untuk menghasilkan komoditas yang canggih, bernilai tambah tinggi, dan mempunyuai permintaan pasar yang tinggi di dalam negeri dan di pasar internasional;

• Memperkuat industri alat-alat proses agar lebih mampu menyediakan dan menanggapi permintaan barang modal yang diperlukan dalam industri manufaktur pengolah hasil pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan dll;

• Meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor pertanian, perikanan, perkebunan, dll dengan melakukan intervensi teknologis, sehingga sektor ini mampu menanggapi permintaan yang dibangkitkan dari upaya yang dikemukakan di butir pertama, tidak hanya dalam kuantitas tetapi juga dalam memenuhi dinamika perubahan persyaratan yang dikehendaki;

Jika semuanya sudah lengkap, maka yang menjadi kekurangan selama ini adalah political will dari pemerintah. Tetapi hal tersebut adalah sangat wajar karena semenjak orde baru watak pemerintah Indonesia selalu berpihak kepada kaum imperialis, bukan kepada rakyatnya. Persoalan kemampuan manusia Indonesia (dalam bidang teknologi) untuk mewujudkannya pun seharusnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Kita tentu masih ingat bagaimana putra-putra terbaik bangsa baru-baru ini meraih empat medali emas di Olimpiade Fisika Internasional setingkat SMU yang diadakan di Singapura[43]. Atau bagaimana dengan mahasiswa-mahasiswa Strata-1 dari Teknik Elektro ITB yang belum lama ini karya ilmiah mereka tentang teknologi informasi dan komunikasi diberi penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik dalam The 9th LSI Design Contest in Okinawa 2006 yang diselenggarakan di Jepang[44]. Prestasi yang sangat membanggakan bila melihat “lawan-lawan” mereka adalah mahasiswa-mahasiswa program Master di Universitasnya.Belum lagi jika kita menengok banyaknya paten dalam bidang teknologi yang dihasilkan oleh akademisi-akademisi pribumi. Salah satunya adalah Dr. Gede wenten yang paten pertama sebagai hasil disertasi doktoralnya langsung mendapat perhatian dunia membran bahkan disebut–sebut sebagai revolusi terbesar pada industri bir dalam 50 tahun terakhir. Paten pertamanya tentang klarifikasi bir di Denmark ini adalah karya yang pertama mengangkat namanya, sempat diperebutkan oleh perusahaan bir dunia termasuk Carlsbreg walau akhirnya dibeli oleh perusahaan bir X-Flow dari Belanda [45]. Kalaupun ada teknologi yang kita perlukan tapi belum kita kuasai, kita tinggal menyewa patennya sambil terus diupayakan untuk mencari alternatifnya.

Dengan demikian sudah jelaslah bahwa: Hapuskan Hutang; ambil-alih perusahaan tambang: bangun pabrik (industri) nasional demi kesejahteraan rakyat!! haruslah menjadi panji-panji utama yang diusung rakyat dalam perjuangannya mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Rakyat harus bersatu dalam mengusung ketiga panji tersebut- maka kita bisa menyebut ketiganya sebagai Tri Panji Persatuan Nasional. Tidak ada lagi alasan menghindar bagi pemerintah untuk merealisasikan keseluruhan Tri Panji Persatuan Nasional sebagai jalan keluar krisis bangsa. Rakyat tidak bisa terus berharap (untuk kemudian dibohongi) pada pemerintahan kita yang merupakan antek imperialis, yang dengan setianya terus menerapkan kebijakan neo-liberal yang menyengsarakan mereka. Melalui kekuatannya sendiri rakyat harus berusaha merebut pemerintahan, untuk kemudian medirikan suatu pemerintahan alternatif persatuan rakyat yang bersendikan pada Tri Panji Persatuan Nasional.

Oleh Administrator



[1] Hingga tahun 2001 sebanyak 890 ijin Kontrak Karya, Kuasa Pertambangan, dan PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusaha Pertambangan Batubara) telah diberikan negara dengan penguasaan lebih dari 35% daratan kepulauan Indonesia. Angka-angka itu belum termasuk penguasaan pertambangan galian C (tambang pasir, marmer, dsb).

[2] beralaskan UU Penanaman Modal No.1 tahun 1967 dan UU No.11 tahun 1967 tentang Pertambangan Umum

[3] Situs Kementerian ESDM, Oktober 2004

[4] Sepanjang 1993-1995 hanya berkisar 2,54-2,92%; tahun 2002 hanya beranjak sedikit ke angka 2,7%

[5] http://www.walhi.or.id/kampanye/tambang/tutuptamb/060404_freeport_li/

[6] kontrak kerja di sektor pertambangan sudah saatnya dirubah menjadi kontraktor bagi hasil (Kontraktor Production Sharing). Di bidang perminyakan, kontrak kerja sudah ditinggalkan sejak 1963 karena dinilai tidak adil bagi negara penghasil minyak. Dia menilai kontrak kerja yang diterapkan pada produk pertambangan tidak adil, karena harga dan jumlah produk yang dijual semuanya dikendalikan oleh investor. Kondisi ini, menyebabkan pemerintah tidak bisa memberikan jaminan kepada rakyat bahwa apa yang diperoleh negara dari investor sudah maksimal.

[8] Karena hampir semua produksi minyak dan gas bumi diperuntukkan untuk ekspor.

[9] JATAM: Indonesia Bangkrut

[10] Detik.com 28 Juli 2006

[11] http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=265281&kat_id=21

[12] Cost recovery merupakan pengeluaran negara untuk membiayai investasi pengembangan lapangan migas sehingga pendapatan dari migas harus dipotong cost recovery dulu baru masuk kantong pemerintah. Total cost recovery yang dikeluarkan pemerintah untuk migas 2005 membengkak 50,9% atau US$2,54 miliar dari US$4,99 miliar pada 2004 menjadi US$7,53 miliar.

[13] Bisnis Indonesia : Friday, June 30, 2006

[14] Berdasarkan UU Migas No.22/2001, Pertamina diarahkan untuk menjadi perusahaan yang terpecah-pecah menjadi berbagai anak-anak perusahaan, yang kemudian pada tahun 2010 diharapkan sudah siap untuk diprivatisasikan melalui penawaran saham umum.

[15] Bank Dunia pada tahun 2004 menyebutkan bahwa sekitar 52,4% (kurang lebih 115 juta) dari total populasi penduduk harus hidup di bawah US$2 per hari (sekitar Rp 600 ribu per bulan)

[16] Tujuannya adalah merebut kedaulatan ekonomi dari raksasa-raksasa modal AS, untuk dipergunakan bagi kemajuan tenaga produktif dan kesejahteraan rakyat

[17] Tercatat 20 maskapai asing telah mau menanda tangani ketentuan-ketentuan hukum yang baru dalam rangka membentuk joint-venture untuk pengelelolaan 25 lapangan minyak. Di antara maskapai-maskapai itu terdapat REPSOL YPF (perusahaan campuran Spanyol-Argentina), Royal Dutch, Shell, China National Petroleum

[18] tetapi lalu digulingkan oleh Amerika.

[19] Jelas dilampirkan dalam Pasal 21-22 UU PMA bahwa keberadaan hak kepada investor asing yang melakukan penanaman modal yang dibolehkan dalam UU PMA untuk melakukan arbitrase terhadap pemerintah Indonesia jika terjadi pemutusan secara sepihak.

[20] Himbauan nasionalisasi ini tertuang secara hukum di PP 13/1960 (nasionalisasi industri perbankan), PP 50/1959 (nasionalisasi industri pertambangan), PP 45/1959 (nasionalisasi industri maritim), PP no. 012/1959 (nasionalisasi peternakan dan perkebunan), PP no. 018/1959 (nasionalisasi industri gas dan listrik), dll.

[21] Hal ini ditunjukkan secara jelas, pada Tahun 1957, dengan dibenuknya Badan Nasionalisasi (BANAS) oleh Sukarno untuk melaksanakan ambil alih, atau Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, dengan Ketua Harian BANAS Bapak D. Suprayogi (Mayjen), dan Bapak Suhardiman (Kapten-TNI-AD) sebagai Sekretaris BANAS. TMSU (Tambang Minyak Sumatera Utara) diserahkan kepada KASAD. Di zaman PM Ir. H. Juanda, 22 Juli 1957 -- setelah rapat umum yang dihadiri 15 ribu orang di Pangkalan Berandan 16 Juni 1957 -- Menteri Perindustrian dan Perdagangan IR. Inkiriwang menyerahkan kekuasaan mengenai TMSU kepada KASAD Jenderal AH. Nasution. Sebagai pemegang saham atas nama Pemerintah Republik Indonesia bertindak Ibnu Sutowo dan asistennya Mayor Harijono

[22] Belum jika ditambah dari hasil penyitaan aset-aset MNC-MNC migas.

[23] http://www.usembassyjakarta.org/petro2003/PetroleumReport%202005-2006.pdf

[24] Susan George dalam A Fate Worse Than Debt (Grove Weidenfeld, 1990)

[25] Di tahun 1969, 1 dollar AS sama dengan Rp 387, Sekarang 1 dollar AS sama dengan Rp 10.000. ini berarti Dalam kurun waktu yang sama, penurunan nilai tukar rupiah dari 2.600 persen

[26] Sebagai perbandingan, cicilan pokok dan bunga hutang luar negeri setara dengan 30-40% dari total pendapatan pajak. Jika ditambahkan dengan beban bunga hutang obligasi rekapitalisasi perbankan, yang sekarang ini melalui program privatisasi/divestasi (ini juga kebijakan yang muncul sebagai syarat pencairan hutang) dimana 40% bank nasional sudah dikuasai asing, maka beban pembayaran hutang setiap tahunnya menghabiskan anggaran setara lebih dari setengah pendapatan pajak nasional.

[27] Jeffrey Winters menyebutkna hingga krisis ekonomi 1997, hutang Indonesia yang layak disebut hutang najis (odious debt) sedikitnya US$30 miliar, dimana US$10 miliar dari Bank Dunia, sisanya dari ADB, serta lembaga multilateral dan bilateral lainnya.

[28] Lampiran Peraturan Presiden RI NO 30 TAHUN 2005 Tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.

[29] Data IGJ.

[30] Majalah Bisnis

[31] Nigeria merupakan salah satu negara yang masuk dalam HIPC

[32] Tempo Interaktif, 8 Maret 2005

[33] sektor pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap dan tiadanya keamanan kerja (job security) atau tidak ada status permanen atas pekerjaan

[34] jumlah angkatan kerja kita mencapai 106,2 juta

[35] 1,3 % dari muka bumi

[36] 13 - 17 ribu pulau, hanya ± 6000 di antaranya berpenduduk

[37] ± 81.000 km

[38] menjadi 473 hektar dengan Zona Ekonomi Ekslusif

[39] minyak bumi, gas bumi, batubara, aluminium, tembaga, nikel, emas, besi, mangan, dll.

[40] ± 800 spesies tanaman pangan dan ± 1000 spesies tanaman medisinal

[41] Saswinadi SASMOJ, ‘Science, Teknologi, Masyarakat, dan Pembangunan’

[42] pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan(kelautan)

[43] Hanya kalah dari Tim Cina. Kompas, 16 Juli 2006

[44] http://berkala.itb.ac.id/