Selasa, 12 Agustus 2008

Merubah Nasib Sebagai Bangsa Kuli Dengan Tri Panji Persatuan Nasional

Penguasaan Asing dan Tingkat Industri yang Rendah

Oleh Administrator

Indonesia adalah negeri kapitalis yang perekonomiannya di dominasi sistem penghisapan oleh negeri-negeri imperialis, dimana kelas kapitalis besarnya yang merupakan kelas kapitalis yang minoritas didalam negeri memegang peranan sebagai kelas perantara atau agen langsung sebagai pemegang hak keagenan/lisensi/pemegang merk dsb maupun agen atau/perantara secara tidak langsung dari kepentingan negeri-negeri imperialis. Pola dominasi oleh negeri-negeri imperialis di dalam perekonomian dalam negeri dengan kasat mata misalnya melalui penguasaan langsung industri-industri pertambangan, perbankan, pusat-pusat perdagangan, juga sebagian besar industri manufaktur. Demikian juga di lapangan perdagangan, negeri-negeri imperialis semakin menguasai pasar di dalam negeri dengan derasnya serbuan barang-barang dan jasa yang diimpor.

Dari sekitar 137 perusahaan migas yang kini beroperasi di Indonesia, sedangkan hanya 20 di antaranya yang merupakan perusahaan dalam negeri –inipun biasanya hanya merupakan partner junior dan atau milik Pertamina dari sumur-sumur tua yang sudah ditingggalkan oleh asing. Hingga tahun 2001 sebanyak 890 ijin Kontrak Karya, Kuasa Pertambangan, dan PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusaha Pertambangan Batubara) telah diberikan negara yang setara dengan penguasaan lebih dari 35% daratan kepulauan Indonesia. Mayoritas juga dikuasai asing. Perbankan nasional? Sama saja. Mayoritas juga sudah dikuasai asing, bahkan termasuk bank-bank yang menikmati subsidi dari negara yaitu bank-bank pemegang obligasi rekapitalisasi perbankan yang totalnya mencapai Rp. 430 triliun seperti BCA, BII, Bank Permata dsb, yang menurut Kwik Kian Gie bunga yang harus dibayar dengan APBN untuk obligasi ini akan menghabiskan Rp. 600 triliun. Sebagai contoh subsidi yang bunga obligasi rekap yang dinikmati 10 bank (Bank Mandiri, BCA, BRI, BNI, BTN, BII, Bank Lippo, Bank Niaga, dan Bank Danamon) untuk tahun 2002 saja menghabiskan sekitar Rp. 51,7 triliun. Sektor perdagangan? Pusat-pusat perbelanjaan juga sudah didominasi Carefour, Giant, Sogo, Hypermart. Sedang rak-rak-nya dipenuhi barang-barang dari luar. Sektor otomotif sudah lama asing mendominasi melalui kapitalis-kapitalis dalam negeri yang diberi hak keagenan/lisensi. Demikian juga teknologi informatika, telepon. Sektor manufaktur ringan? Investor dari Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, Singapura merajalela. Belakangan investor Malaysia yang hendak mengokohkan dominasinya sebagai raksasa perkebunan mulai mengambil-alih perusahaan-perusahaan perkebunan di Indonesia.

Apa pengaruhnya bagi sebuah negeri yang perekonomiannya didominasi oleh satu negeri atau banyak negeri imperialis seperti Indonesia ini? Ada baiknya untuk memahami pengaruhnya kita kutip pendapat dari Soekarno: “…kita punja daja menghasilkan mendjadi mati sama sekali, kita punja daja cipta alias kepandaian dan kemampuan-membikin padam sama sekali, hantjur sama sekali, binasa sama sekali! Imperialisme industrialisme asing itu telah merebut tiap-tiap akar daripada daja menghasilkan ekonomis kita, membakar tiap-tiap semi daripada daja menghasilkan ekonomis kita menjadi debu, merosotkan Rakjat Indonesia itu mendjadi suatu Rakyat yang hidup dengan memakai barang-barang –luaran”. Maka ekonomi Indonesia sudah tidak mampu lagi menyejahterakan rakyatnya --sebagian besar keuntungan dan kemampuan keuangan/fiskal rakyat Indonesia ( yang tercermin dalam ekonomi dan APBN ) mengalir sebagai keuntungan asing,

Sebagai contoh, kontribusi sektor pertambangan bagi pendapatan negara, dalam kurun waktu 3 tahun terkhir hanya memberi rata-rata 80-90 triliun rupiah per tahun. Padahal Indonesia adalah negeri yang memiliki cadangan minyak bumi (yang terlacak) sebesar 4,6 milyar barrel, cadangan gas (terlacak) hampir 90 TSCF yang dengan produksi 2,9 TSCF yang baru akan habis 30 tahun ke depan, penghasil 25% timah dunia, 2,2% dari produksi batubara dunia, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia. Dengan dukungan syarat-syarat obyektif yang demikian toh gagal menjadi modal dasar untuk memodernisasikan dan meningkatkan produktifitas perekonomian Indonesia.

Karena sebagian besar sumber daya ekonomis, sumber daya keuangan dan fiskal dibawa oleh imperialis asing ke negri induknya dalam bentuk dana bagi hasil, cost recovery (dalam industri pertambangan), kadang-kadang fasilitas pembebasan atau keringanan pajak, laba, royalty, bunga hutang, pembayaran pokok hutang, dan juga melalui pencurian. (terutama hasil laut, pasir, dan hasil hutan).

Merujuk data tahun 1995, di areal Freeport saja tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52,1 juta ons. Deposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar AS, yang baru akan habis selama 45 tahun. Berapa yang jatuh kepada Indonesia? Kita hanya kebagian 7,9% kepemilikan saham, pajak dan royalty. Sementara dari Blok Cepu, ke depan Exxon akan menikmati pendapatan senilai Rp. 170 triliun per tahun. Bandingkan dengan kontribusi sektor pertambangan yang hanya Rp. 70-80 triliun terhadap APBN per tahunnya.

Data dari BP Migas menunjukan bahwa dari lifting Minyak sebesar 364,4 juta barel per hari dengan asumsi harga minyak US$60 per barel, maka total dari pendapatan minyak pada tahun 2005 adalah US$ 21,8 milyar. Dengan rata-rata bagi hasil 60-40, yaitu 60 untuk Pemerintahdan 40% untuk KPS, setelah dipotong cost recovery untuk KPS sebesar US$ 4,19 milyar maka Pemerintah hanya menerima Rp. 10,6 milyar, dan total yang diterima KPS adalah US$11,23 milyar. Hebatnya lagi ada kontak yang bagi hasilnya 0% untuk Indonesia seperti kontrak Exxon di Blok Natuna.

Sementara menurut Kwik Kian Gie, nilai dari ikan laut, pasir, dan kayu yang dicuri asing setiap tahunnya sekitar US$ 9 milyar.

Perekonomian Indonesia bisa dikarakterisasi sebagai berikut:

  1. Penguasaan oleh asing di sektor Industri hulu (terutama pertambangan)
  2. Penguasaan oleh asing pada sektor industri finance (penguasaan terhadap perbankan melalui program divestasi dan privatisasi)
  3. Penguasaan oleh asing di sektor perdagangan (melalui pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dan sebagai pemasok barang-barang konsumsi)
  4. Sektor industri manufaktur berkarakter outshourcing (dengan sistem kontrak, lisensi, keagenan dsb) dari perusahaan-perusahaan asing, yang rendah teknologi dan dukungan industri hulu. Sehingga bahan baku dan mesinnya tetap tergantung pada impor dan oleh karena sangat rapuh dann gambang terguncang. Hingga saat ini sektor riil masih terjerembab dan terus mengalami kebangkrutan massal. Jadi sebelum sistem buruh kontrak menjadi trend (walaupun secara legal sangat dibatasi dan selebihnya dilarang), pola serupa sudah lebih dahulu diterapkan dalam pola industri manufakturnya.
  5. Sektor pelayanan publik yang dikuasai negara (melalui BUMN-BUMN) yang kepemilikannya terus merosot karena dialihkan (dan diminta melalui paksaan lemaba-lembaga donor) oleh asing melalui program privatisasi dan atau dibangkrutkan seperti industri pupuk.
  6. Pemerintahan nasional yang berkarakter komprador dan kakitangan kepentingan imperialis asing. Sehingga bersedia menerima syarat-syarat yang lunak dan bagi hasil yang rendah dari beroperasinya dan dikuasainya industri-industri penting oleh imparialis asing di dalam negeri.
  7. Beban hutang tak kepalang besarnya dari Pemerintah yang berjumlah US$ 143,2 milyar. Terdiri dari utang luar negeri sebesar US$,6 milyar dan SUN (Surat Utang Negara) sebesar US$ 81,6 milyar (sebagaian pembeli dan pemegang SUN juga dari asing). Situasi eksploitasi keji oleh imperialis ini justru diputarbalikkan sedemikian rupa sehingga kekurangan modal nasional dan struktur pendapatan dalam APBN justru dijadikan dalih pembenaran untuk menggenjot hutang luar negeri.

Dampak sosial dari situasi perekonomian yang demikian ini adalah perkembangan industri yang stagnan, bahkan dengan kebangkrutan di sektor riil yang belum juga berhenti gagal menyerap pengangguran, dan justru membantu menambah jumlah pengangguran. Laporan Bank Dunia tahun 2006 menunjukan bahwa hampir 50% penduduk Indonesia masih tergolong miskin dengan asumsi golongan penduduk yang pendapatannya kurang dari US$ 2 dollar per hari. Akses rakyat miskin terhadap kesehatan, pendidikan, perumahan juga semakin sulit. Tak herang penderita busung lapar, anak putus sekolah tingkat kematian bayi dan ibu melahirkan, dan epidemi penyakit lainnya tergolong tinggi.

Tri Panji Persatuan Nasional Sebagai Jalan Keluar

Arti penting dari Tri Panji Persatuan Nasional adalah bahwa sumber-sumber dan potensi pembiayaan, serta kemampuan keuangan negara harus dikerahkan untuk menjawab problem mengangkat rakyat dari kemiskinan dengan meningkatkan kesejahteraannya rakyat yang bersifat mendesak dan dipergunakan untuk meletakkan, membangun, dan mengembangkan dasar-dasar bagi industri nasional yang kokoh.

Panji Industrialisasi Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat

Industrialisasi nasional yang berhasil membutuhkan syarat-syarat dan penyelesaian terhadap soal-soal:

  1. Pembukaan Lapangan Kerja untuk mengatasi pengangguran. Sudah terbukti gagal bahwa pembukaan lapangan kerja disandarkan hanya kepada investasi asing. Negara, dengan dukungan APBN dan APBD harus membiayai pembangunan pabrik-pabrik. Pabrik-pabrik yang dibangun disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan realitas perekonomian rakyat misalnya lebih dititik beratkan pada industri yang mendukung program mekanisasi pertanian dan industri pengolahannya. Juga disesuaikan dengan potensi sumber daya alam yang kita miliki misalnya pendirian pabrik-pabrik baja di daerah yang menghasilkan bijih besi, pabrik pengilangan minyak dan gas di daerah-daerah penghasil minyak dan gas. Mendirikan industri pupuk di daerah-daerah sentra pertanian dan perkebunan, dan atau membangun pabrik pengalengan ikan, dan pabrik untuk menghasilkan kapal penangkap ikan di daerah-daerah sentra nelayan. Negara juga harus menjawab situasi riil dari industri dalam negeri yaitu menolong industri yang terancam kebangkrutan, dan jika keuangan negara memungkinkan mengambil-alih-nya.

2. Perlindungan terhadap Industri dalam negeri, mengontrol dan mengawasi perdagangan umum dengan luar negeri. Industri dalam negeri harus dilindungi kepentingannya, dan dibantu perkembangan dan kapasitasnya dari dampak merusak perdagangan dengan luar negeri. Seluruh proses liberalisasi perdagangan dan kebijakan perjanjian perdagangan multilateral dan bilateral harus ditinjau ulang dengan mengedepankan kepentingan nasional.

  1. Menaikan Upah Buruh dengan menetapkan upah minimum nasional sesuai dengan tingkat KHL (Kehidupan Hidup Layak). Standarisasi upah ii penting untuk menghilangkan kesenjaggan desa dengan kota, satu propinsi dengan propinsi lainnya. Walaupun dalam jangka waktu pendek ada variabel-variabel harga kebutuhan hidup yang berbeda-beda dimasing-masing daerah, hanya apada variabel-variabel yang berbeda saja yang harus disesuaikan. Disetiap unit perusahaan, milik swasta/negara hak bgi pekerja untuk ikut mengontrol jalannya perusahaan harus diberikan. Sehingga kaum pekerja menjadi semakin bergairah bekerja demi kemajuan dan peningkatkan produktifitas perusahaan. Jika pada tahun 1950-an hingga 1960-an demokratisasi perusahaan ini bisa dijalankan kenapa saat ini tidak bisa?
  2. Mengratiskan biaya kesehatan untuk seluruh rakyat. Seluruh pelayanan rumah Puskesmas dan Rumah Sakit untuk pelayanan kelas tiga harus digratiskan (dari biaya rawat inap, konsultasi dokter, obat-obatan, dan biaya rawat jalan). Pengkhususan pada rakyat miskin hanya menimbulkan korupsi, konflik sosial, dan penyelewengan di lapangan (rumah sakit yang menolak walaupun sudah membawa surat bukti miskin, tetap dikenai biaya untuk obat-obatan dsb).
  3. Menggratiskan Pendidikan dari TK hingga Universitas. Seluruh TK dan Universitas negeri harus digratiskan dan jumlah sekolah dan kampus terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan anggaran. Sekolah-sekolah swasta harus disubsidi. Jika oleh karena keterbatasan anggaran jumlah keseluruhan sekolah belum mampu menampung seluruh calon peserta didik harus diselenggarakan ujian penyaringan yang transparan, dan calon peserta didik tanpa memperhitungkan usia harus diberi kesempatan yang sama untuk meraih status tingkat pendidikan yang lebih tinggi walaupun dia gagal pada ujian penyaringan paada tahun sebelumnya. Kurikulum pendidikan dan program-program studi yang dijalankan harus mendukung program industrialisasi nasional.
  4. Menyelamatkan aset-aset negara dengan menghentikan dan meninjau-ulang/membatalkan privatisasi BUMN-BUMN. Seluruh perusahaan dan industri yang melayani kepentingan publik harus dikuasai oleh negara, diprofesionalkan, ditingkatkan kapasitas teknologi dan pelayanannya, serta membersihan para birokratnya yang korup dengan penerapan hukum yang progresif seperti pembuktian terbalik dsb. Pelayanan dan pemenuhan kebutuhan publik yang murah tanpa dibebani untuk mengejar keuntungan akan menjadi daya dukung bagi industri nasional.
  1. Negara memberikan subsidi untuk sarana produksi pertanian (pupuk, bibit, perbaikan irigasi, konservasi sumber-sumber air dsb), bantuan teknologi murah, dan modal/kredit modal usaha bagi petani untuk meningkatkan kesejahteraan kaum tani. Lahan-lahan negara yang menganggur diserahkan kepada kaum tani, sengketa-sengketa agraria harus diselesaikan dengan mengutamakan kepentingan kaum tani –karena selama puluhan tahun mereka elah menjadi korban, serta negara mendorong program transigrasi secara sukarela dan bertanggung-jawab memberi bantuan modal dan jaminan hidup selama belum berproduksi; pemberian lahan di tempat pemukinan tidak lagi dalam jumlah kecil tapi dalam bentuk lahan yang ekonomis untuk dijalankan dengan mekanisasi (ini juga harus dibantu negara) dan dikelola secara koperasi agar tidak muncul problem fragmentasi lahan pertanian dikemudian hari.
  2. Menasionalisasi Perbankan nasional. Penguasaan perbankan nasional oleh asing atau swasta akan menyulitkan daya ukung keuangan bagi program pembiayaan program industrialisasi nasional. Apalagi di dalam tubuh perbankan nasional saat ini masih menyimpan beban subsidi rekap senilai Rp. 430 triliun, yang bunganya saja akan memakan dana APBN senilai Rp. 600 triliun. Dengan penguasaan negara perbankand apat diarahkan untuk memperkuat industri dalam negeri dan secara bertahap beban obligasi rekap dapat dikurangi atau bunganya dapat dihapus sama sekali.
  3. Memberikan subsdidi untuk perumahan rakyat dengan program rumah susun yang layak dan sehat, dan disewakan secara murah. Program rumah susun dibangun diiatas lahan-lahan negara. Program rumah susun akan turut berkontribusi bagi pembenahan tata kota agar lebih manusiawi. Dan sekaligus mampu menyelamatkan rakyat miskin dan menengah bawah diperkotaan dari spekulasi para pemilik rumah sewaan yang selama ini menikmati rente dari keringat para pekerja.
  4. Menggratiskan seluruh pengurusan pembuatan dokumen negara yang harus dimiliki warga negara sehubungan dengan status kewargaannya (surat nikah, akta kelahiran, KTP, Ijazah, paspor dsb). Karena pelayanan terhadap dokumen bagi warga negara ini ini adalah salah satu bentuk kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya.

10. Dimungkinkan membuka investasi asing sektor-sektor industri yang belum mampu dikelola oleh pemerintah dan swasta nasional, dan atau pemerintah masih kekuarangan sumber daya untuk mengelolannya namun dengan syarat alih - teknologi.

Panji Nasionalisasi Industri Pertambangan

Poin penting dari program ini adalah untuk menjadikan pertambangan sebagai sumber pembiayaan utama yang nilai ekonomisnya besar dan cepat. Sebagai gambaran, nilai komersial dari tambang PT Freeport saja sekitar US$ 77 milyar, nilai kapitalisasi dari Blok Cepu sekitar US$ 40 milyar dollar, nilai kapitalisasi dari liftting minyak per tahun sekitar US$ 21,8 milyar. Dapat dibayangkan berapa nilai kapital dari 137 perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia? Brapa nilai kapital dari 890 ijin kontrak karya, kuasa pertambangan, PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusaha Pertambangan Batubara)? Bahkan dengan skenario nasionalisasi yang paling moderat sekalipun, misanya perbaikan kontrak bagi hasil, dan jika semua kontrak pertambangan dijalankan dengan pola bagi hasil pendapatan negara akan sangat besar dari sektor pertambangan. Dan skenario inilah yang minimal harus kita perjuangkan, dimaa kontrak bagi hasil untuk rakyat Indonesia harus ditingkatkan minimal 85% dan untuk KPS 15%.. Seperti yang saat ini diperjuangkan oleh Rakyat Bolivia dibawah Morales, dan seperti perjuangan rakyat Bolivia pula bagi perusahaan pertambangan yang membandel dipresilahkan angkat kaki, dan dinasionaliasikan tanpa ganti-rugi.

Point penting lainnya dari penguasaan nasional terhadap industri pertambangan adalah posisi bahan-bahan mineral yang begitu vital bagi berjalannya industri modern. Adalah pengkhianatan terhadap kaum tani, kaum buruh, Rakyat Aceh pada khususnya ketika pabrik pupuk seperti AAF di Aceh harus ditutup dan menelantarkan nasib buruhnya karena kekuarangan pasokkan gas padahal di Aceh pula terdapat pertambang gas yang besar di Arun. Adalah layak dikutuk Pemerintahan SBY-Kalla ketika pabrik-pabrik di Sumatera Utara harus mengurangi produksinya dan merumahkan sementara buruhnya karena kurangnya pasokan gas. Demikian juga nasib rakyat pada umumnya yang harus menanggung harga minyak tanah, dan BBM yang terus naik padahal kita merupakan produsen minyak yang produksinya melebihi konsumsi nasional kita. Kenapa justru lebih diprioritaskan untuk diekspor ke Jepang, Korea Selatan, AS, Singapura, China jika Pemerintahan kita bukan kakitangan kaum imperialis. Kita, sebagai penghasil bijih besi melimpah, namun kapasitas produksi industri baja dalam negeri hanya sekitar 50% saja, sehingga industri manufaktur berbahan logam kekuarangan pasokan baja dan harus bergantung pada impor baja.(Kompas, 12 Desember 2006). Demikian juga nasib seluruh industri manufaktur, mereka harus mengimpor bahan baku dan mesin yang mineralnya diambil dari bumi Indonesia sendiri. Sehingga nilai tambanya yang besar justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan di negeri imperialis.

Panji Penghapusan Hutang Luar Negeri

Hutang luar negeri telah menjadi beban yang laur biasa besar bagi APBN. Hutang luar negeri juga telah menjadi instrumen penting kaum imperialis untuk menjajah perekonomian nasional kita. Tak hanya kaum imperialis yang mengeruk untunmg dari politik hutang luar negeri, Pemerintahan Orde baru juga turut menikmatinya dengan cara-cara korupsi. Sehingga menurut bank Dunia sendiri 30% dari ana yang dipinjamkannya dikorupsi oleh Pemrintah Orde Baru. Keuntungan yang dinikmati negeri-negeri kreditur dalam bentuk bunga, fee komitmen, penggunaan kontraktor dan jasa dari negeri kreditur dalam proyek yang dibiayai hutang, juga impor teknologinya sudah melampui nilai hutang yang diberikan oleh negeri kreditur maupun lembaga-lembaga kreditur (Bank Dunia, IMF, ADB dsb). Perbandingannya, negeri-negeri imperialis yang menjadi kreditur mengambil US$ 13 dari negeri debitur dari setiap US$ yang dipinjamkannya. Selama ini hutang luar negeri juga telah menjadi instrumen penting kaum imperialis untuk menjajah perekonomian nasional kita, seluruh kebijakan ekonomi Pemerintah konstitusinya bukan dari UUD 1945, namun dari Letter of Intents dengan IMF, yang diperkuat desaknnya melalui Paris Club dan juga CGI –sebuah forum dari negeri-negeri kreditur dengan Pemerintah Indonesia yang menjadi debitur.

Bahkan jika negergi-negeri imperialis terlalu serakah dengan menolak untuk menghapus hutang-hutang Indonesia, kita hanya menuntut agar diberi moratorium selama 10-15 tahun untuk menunda pembayaran bunga, cicilan pokok, an selama masa moratorium itu beban bunga dibekukan. Kita lebih berhak lagi untuk memperoleh fasilitas ini karena mereka telah menikmati untung yangd emikian besar selama puluhan tahun dari politik hutang luar negeri ini. Jika pemerintahan Argentina mampu, kita juga pasti mampu.

Untuk mendukung program pembiayaan bagi Industrialisasi nasional masih cukup banyak peluang dan potensi yang dapat dimanfaatkan, diantaranya:

  1. Menarik kembali obligasi rekapitalisasi perbankan senilai Rp. 430 triliun, atau minimal meng-nolkan bunganya. Ini akan menghemat APBN luar biasa besarnya, dan mendapat menjadi sumber pembiayaan yang besar. Perkiraan dana APBN untuk membayar bunga obligasi rekap ini sekitar Rp. 600 triliun.
  2. Menasionalisasi harta kekayaan Keluarga Soeharto dan Koprninya. Mereka selama kekuasaan Orde baru telah memperkaya dirinya melalui cara-cara KKN. Harus diterbitkan Dekrit dan UU (jika diperlukan) secara khusus untuk tujuan ini. Rakyat pasti mendukung kebijakan ini, dan hanya segelintir orang pendukung Sorharto yang turut menikmati harta hasil KKN ini yang akan berkeberatan.
  3. Menurut perkiraan Kwik Kian Gie, dari perpajakan dan dan belanja APBN pada tahun 2002 saja terkorup sekitar Rp. 180 triliun dan Rp. 35 triliun, atau sekitar Rp. 215 triliun. Itu dalam setahun. Tahun-tahun selanjutnya rasanya juga tidak banyak berubah karena belum ada gerakan pemberantasan korupsi yang signifikan untuk mengganyang birokrat-birokrat korup ini. Ini artinya pendapatan pajak masih dapat kita genjot hingga dua kali lipat dari nilai pajak yang disetor selama ini. Karena perkiraan itu mengasumsikan bahwa nilai pajak yang dikorup sama dengan nilai pajak yang disetor.
  4. Pembersihan dan pemberantasan dari aparat negara dan pengusaha yang bekerjasama melakukan pencurian kekayaan laut, pasir, kayu. Setiap tahun nilai yang dicuri sekitar US$ 9 milyar. Paling tidak jika kita menghentikan ekspor pasir kita masih akan memperoleh pendapatan sekitar US$ 3 -5 milyar dari pencurian ikan, jika kapasitas nelayan kita ditingkatkan, belum jika pencurian kayu diberantas dan setengah saja dari kayu yang dicuri yaitu sekitar US$ 2,5 milyar kita manfaatkan sendiri akan mendatangkan pendapatan sekitar US$ 1,25 milyar dan atau kayunya dapat kita pergunakan untuk menolong industri perkayuan kita dari kebangkrutan seperti yang terjadi di Kalimantan, dan juga mendatangkan potensi biaya untuk konservasi hutan.

Dengan kekayaan sumber daya alam kita, dengan jumlah penduduk kita yang melimpah tak ada alasan untuk perekonomian kita tidak menjadi modern, produktif dan mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu, bagi Papernas: Nasionalisasi Industri Pertambahan, Hapus Hutang Luar Negeri Untuk Kesejahteraan Rakyat!! menjadi program dan slogan perjuangan yang sangat penting di dalam perjuangan rakyat melawan penghisapan dan dominasi Imperialis dan meletakkan syarat yang modern untuk kemandirian ekonomi nasional dan mensejahterakan rakyat.

Jika menggunakan asumsi rata-rata harga minyak 2005 US$60 per barel maka dengan data BP-MIGAS yang mencatat angka lifting minyak 2005 adalah 364.376.000 barel maka total pendapatan minyak di tahun 2005 adalah US$21,8 miliar. Angka tersebut belum dipotong cost recovery, dengan membengkaknya cost recovery minyak hingga US$4,19 miliar yang harus dibayar pemerintah pada KPS, maka sisa pendapatan migas yang harus dibagi hasil US$17,61 miliar. Dari kontrak kerja sama antara pemerintah dengan KPS, sepertinya tidak ada pembagian hasil 85:15 sebagaimana disebut-sebut selama ini. Rata-rata kontrak kerja sama pemerintah dengan KPS adalah 60% pemerintah dan 40% KPS. Dengan demikian dari pendapatan minyak US$17,61 miliar, pemerintah US$10,6 miliar, KPS US$7,04 miliar, hanya selisih US$3 miliar dari pendapatan pemerintah. Padahal KPS sudah menerima bagian US$4,19 miliar yang harus dibayar pemerintah sebagai cost recovery sehingga total bagian KPS dari seluruh pendapatan migas US$11,23 miliar. Sementara pemerintah hanya mendapat US$10,6 miliar. Dari angka yang ada, maka bagian pemerintah lebih kecil ketimbang KPS[1].

Dan perekonomian kita dewasa ini memang menjadi debu, itulah nasib yang dialami oleh industri dalam negeri seperti yang dialami industri tekstil, garmen, sepatu industri perkebunan, industri perkayuan, tempat dimana jutaan rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya. Pendeknya hampir seluruh industri manufakur kita menjadi debu sehingga secara bersamaan dan bergiliran mengalami kebangkrutan massal yang diiringi dengan PHK-PHK massal. Ironisnya industri-industri ini pada awal perkembangannya juga difasilitasi dan untuk melayani kepentingan industri dan kebutuhan barang-barang yang murah bagi pasar di negeri-negeri imperialis sendiri. Apalagi kini terlampau banyak negeri-negeri semacam Indonesia yang mampu menawarkan harga yang lebih murah, dan dengan kualitas yang lebih bagus untuk produk sejenis. Peranan inilah yang sekarang dipegang oleh negeri-negeri seperti China, India, juga Vietnam menjadi pemasok produk manufaktur ringan untuk melayani kepentingan pasar barang-barang murah di negeri-negeri imperialis, karena industri manufaktur ringan semacam itu sudah tidak ekonomis jika jalankan oleh industri di negeri-negeri imperialis sendiri. Superioritas industri manufaktur ringan, terutama dari China bahkan juga menghancurleburkan negeri pemasok lain yang menjadi pesaingnya, seperti Indonesia.

Sementara itu industri-industri di negeri-negeri imperialis bisa terus diarahkan untuk memperkuat industri berat dan high-tech-nya. Untuk kepentingan inilah, maka industri pertambangan dimanapun, diseluruh sudut dimuka bumi menjadi begitu vital untuk dikuasai oleh negeri-negeri imperialis. Ketika mengomentari perkembangan kapitalisme di Inggris Soekarno menyatakan: “…Negeri Inggeris adalah …negeri dengan banjak sjarat-sjarat , …negeri dengan banjak tambang-tambang, banjak arang-batu, banjak tambang-besi… Basisgrondstoffen inilah sjarat-sjaratnja tiap-tiap mechanisme dan industrialisme jang besar…itu menjadi subur.” Sedemikian vitalnya industri pertambangan bagi industri modern, sebagai dasar-dasarnya berjalannnya roda industri modern.

Dengan dikuasainya industri-industri pertambangan seperti sumber-sumber tambang di Indonesia makin terjaminlah dominasi negeri-negeri imperialis sebagai produsen barang-barang manufaktur modern. Terlebih tidak semua negeri imperialis mempunyai sumber daya pertambangan yang melimpah seperti Jepang, atau juga negeri-negeri imperalis yang mempunyai sumber daya tambang yang melimpah ini pun oleh karena telah dieksploitasi selama puluhan tahun menjadi berkurang dan membutuhkan sumber-sumber tambang yang baru seperti AS. Sedikit goncangan pada harga minyak seperti yang terjadi belakangan ini pengaruhnya telah menimbulkan guncangan ekonomi pada skala dunia.

Adalah tidak masuk akal, Indonesia, sebuah negeri yang memiliki cadangan minyak bumi (yang terlacak) adalah sebesar 4,6 milyar barrel, penghasil 25% timah, 2,2% batubara, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia, gagal menstransformasikan perekonomiannya menjadi modern. Pertambangan tidak menjadi modal untuk industrialisasi dalam negeri. Kontribusi sektor pertambangan bahkan sangat kecil bagi pendapatan negara, dalam kurun waktu 3 tahun terkhir hanya memberi kontribusi rata-rata 80-90 triliun rupiah per tahun. Kenapa demikian? Karena hasil-hasil pertambangan lebih diprioritaskan untuk diekspor, dan itu-pun sering kali dalam bentuk bahan mentah. Sehingga nilai tambah dari pengolahan bahan-bahan mineral tambang yang nilainya lebih besar malah dinikmati oleh Jepang, Amerika, Australia.

Silabus Materi Tripanji; Jalan Keluar Rakyat Indonesia:

1. Indonesia merdeka tanggal 17 agustus 1945, dan diakui oleh negara-negara internasional. Tetapi, bagi papernas Indonesia belum merdeka sepenuh-penuhnya(sejati) karena masih ada Imperialisme (baca; penjajahan bentuk baru). Bagaimana menurut anda?

2. Indonesaia di akui sebagai negara paling terbelakang tekhnologi dan ekonominya (paling katro), kita sama sekali tidak punya tekhnologi “made in indonesia” semuanya buatan asing. Korek api saja made in sweden! Nah, menurut anda yang menjadi faktor penyebab keterbelakangan tenaga produktif di Indonesia (tekhnologi dan SDM)?

3. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor minyak,dan masuk dalam OPEC, tetapi dimana-mana rakyat antri mencari minyak tanah. Menurut data diatas, hampir semua sumber minyak dan tambang kita di kuasai oleh asing. Bagaimana tanggapan saudara? Kenapa ini bisa terjadi?

4. menurut anda kenapa soekarno lebih berani daripada Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, dan terutama SBY-Kalla dalam menghadapi negara-negara imperialis? Apa hubungan pemerintah kita dengan pemerintahan asing, sehingga sangat tunduk pada mereka?

5. apa hakekat utang luar negeri terhadap sistem ekonomi dan politik negara-negara miskin termasuk Indonesia? Apa yang dimaksud dengan utang najis (audius debt/illegitime debt)?

6. bagaimana menurut anda memposisikan keberadaan perusahaan tambang di Indonesia? Jika di atas dikatakan bahwa Indonesia tidak memperoleh apa-apa dari kontrak-kontrak industri pertambangan tersebut. bagaimana langkah nasionalisasi yang tepat menurut anda? Jelaskan esensi dari penjajahan di bidang ekonomi menurut saudara?

7. jika semua sektor perekonomian dalam negeri di kuasai oleh asing (pertambangan, finasial, telekomunikasi, perdgangan dan lain-lain), adakah potensi Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan?

8. jika kita menjalankan program Industrialisasi nasional tentu butuh tehknology dan modal, disisi lain kita tidak akan mungkin meminta kepada negara imperialis. Menurut anda, bagaimana memperoleh modal dan tekhnologi untuk mendukung program Industrialisasi nasional?

9. menurut Anda, apakah program tri panji betul-betul bisa menjadi jalan keluar rakyat Indonesia saat ini? Bagaiamana jika negara imperialis memblokade dan mengisolasi negara kita?

10. menurut anda seperti apa kemandirian ekonomi nasional itu? Apa hubungannya dengan tri panji sebagai jalan keluar?



[1] Bisnis Indonesia : Friday, June 30, 2006

Tidak ada komentar: